Menurut Mumun temannya Windy Ariestanty (one of my favorite writer and traveler),
setiap orang memiliki pertanyaan titik balik dalam hidupnya. Pertanyaan ini
akan menjungkirbalikkan. Dan biasanya jawaban dari pertanyaan ini akan
mendorong seseorang memasuki babak atau fase baru di dalam hidupnya, atau acap
kali disebut sebagai titik balik kehidupan seseorang.
Ada satu pertanyaan di akhir umur 21
kemarin yang bikin saya pening. Saya tidak tahu apakah itu pertanyaan titik
balik saya atau bukan, tapi setelah melewati masa pusing itu saya merasa mulai
memasuki fase baru dalam kehidupan saya. Pertanyaan saya begini, “Antara
realita dan idealisme, keinginan pribadi dengan keinginan banyak pihak di
lingkungan saya (terutama keluarga), apakah itu sesuatu yang bertolak belakang?
Apakah memilih salah satunya, dan berarti (menurutku) meninggalkan pilihan yang
lain adalah perbuatan yang salah? Pilihan mana yang harus saya tanggalkan?” Pertanyaan
ini juga menjangkiti sebagian besar teman-teman saya yang berada di ambang baru
lulus kuliah dan belum siap untuk berkomitmen lama.
Ketika pada akhirnya saya menetapkan
pilihan, Allah seperti mengjungkirbalikkan keadaan. Entah segala peristiwa yang
terjadi adalah cara Allah meneguhkan sikap saya atau memberitahu ada yang harus
diluruskan, saya tidak tahu. Hingga detik ini yang saya pegang adalah jalani
yang sudah dan akan dijalani sebaik mungkin dengan kemampuanmu yang ada.
Satu hal yang pasti, tempat saya banyak
mengisi waktu sekarang mulai mengantarkan saya pada fase baru yang entah
berujung pada apa atau entah akan mengantarkan saya pada mana lagi. Dan yang
saya yakini, tempat ini juga menjadi titik balik sebagian besar penghuninya.
Saya menyebut mereka teman baru saya. Mereka memanggil saya, “Kakak.”
Saya menjadi saksi kebisingan jalan kota
dengan keheningan aliran sungai di desa. Orang-orang berkemeja yang bergegas meloncati
angkot dengan petani-petani berkaos kemarin yang santai saja menikmati kopinya
di pinggir sawah. Kekontrasan ini saya ikuti setiap hari menuju suatu tempat
yang mengantarkan saya menemui jawaban atas pertanyaan yang mungkin adalah
titik balik saya. Tempat dimana saya berjumpa dengan orang-orang yang
sepertinya juga menemukan jawaban atas pertanyaan titik balik mereka disana.
Sebuah tempat yang hanya 20 menit dari
pintu gerbang Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Tempat dimana kabut
menggantung rendah mendekati akhir tahun, pohon pucuk merah yang merona,
ikan-ikan bisa berkecipak sesukanya, merdu ayat-ayat suci Al Qur’an mengudara,
lekuk Gunung Salak yang terlihat gagah, dan kisah-kisah lama para pencari
jawaban. Adalah hal yang tersyukuri saya bisa berada di tempat ini bertemu
dengan orang-orang yang sama-sama menapaki jalan menuju fase baru kehidupan.
Mulai akhir September lalu saya mengajar
di sebuah pesantren baru di Desa Gunung Malang, Tenjolaya, Bogor. Saya ditugaskan
mengajar SMP kelas 3 yang hanya terdiri dari enam murid. Mudah? Tidak. Satu
alasan yang melekat pada diri orangtua sehingga memasukkan anaknya ke pesantren
adalah karena ada yang tidak benar dengan dunia anak itu. Awalnya saya kesal,
seolah pesantren adalah tempat pembuangan anak-anak yang salah. Namun setelah
memasuki dunia ini, saya jadi paham, anak-anak itu memang butuh dipesantrenkan
karena sistem pendidikan pesantren beda sekali dengan sekolah biasa. Jadilah
dunia saya memfusi dengan dunia anak-anak itu. Fase baru dalam kehidupan saya
dimulai.
Ini pagi yang biasa di pertengahan
Desember milik arteri Bogor. Mendung menggantung saja di langit tanpa mau
memberitahu apakah akan turun hujan siang nanti atau hanya mendung saja. Pagi
saya juga dimulai biasa saja. Bangun di jam biasanya, sarapan, berangkat
mengajar, memasuki dunia yang berbeda hanya dalam hitungan 2,5 jam.
Namun pagi ini menjadi tidak biasa ketika
saya bertanya, “Dimana Irham?” dan hanya mata-mata awas yang saya terima juga
bisik-bisik seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Saya akan biasa saja kalau
mereka menjawab, “Tidur, Kak.” atau “Sakit, Kak.” Itu alasan klise yang selalu
saya dengar. Tapi diamnya mereka bukan jawaban yang saya mau. “Dimana Irham?”
Sekali lagi saya bertanya. Tidak ada yang bersuara. Saya mencium sesuatu yang
salah telah terjadi. “Irham tidak menghilang, kan?” Saya mencoba menghibur (dalam
hati saya was-was, “Irham kabur?”) Shodiq, salah satu murid saya yang gemar
sekali mengucapkan Terima Kasih menggeleng, “Tidak tahu, Kak,” masih dengan
tatapan yang menyembunyikan. Akhirnya saya memulai pelajaran masih dengan
jawaban tak tentu.
Jam istirahat ini saya kehilangan lelaki
yang selalu duduk di belakang dekat pintu. Bocah itu berambut kemerahan. Saya
kira karena rambutnya diterpa cahaya matahari yang masuk melalui jendela kelas,
tapi ketika saya mendekat, warna merah di rambutnya semakin jelas. Itu bukan
efek cahaya, memang rambutnya diwarnai. Awalnya saya terkejut, tapi lama-lama
terbiasa juga. Selain rambutnya yang khas, belasan bekas luka di tubuhnya juga
membedakannya dari teman lain.
Jam istirahat yang pernah saya dan Irham
lalui bersama memberitahu saya kalau bekas luka di tubuhnya itu ia dapatkan
ketika ia sering tawuran dan berantam dengan ayahnya dulu. Dengan ekspresinya
yang sulit tertebak Irham bercerita bahwa lelaki yang hobi balapan motor liar
ini juga punya rasa takut.
“Saya tinggal di rumah pribadi, terpisah
dari orangtua meskipun tetanggaan. Saya sudah terbiasa hidup bebas, Kak. Saking
bebasnya, ya gitu deh.” Mulutnya melelet. “Saya pernah disabet pakai pisau sama
Ayah saya, Kak, karena saya bolak-balik kantor polisi dan pernah ketahuan
ngobat. Saya mah nggak takut sama Ayah. Satu-satunya yang saya takutkan cuman
Ibu. Setiap kali dimarahin Ibu, saya nggak pernah bisa membantah meski Ibu
nggak pernah pakai pisau. Saya sudah berbuat salah banget sama Ibu.”
Sebagai perempuan, saya mau berlari dan
menangis di kamar mandi. Air mata saya tahan karena ceritanya meletupkan
pertanyaan-pertanyaan. “Kakak bingung deh, kenapa sih anak-anak itu suka
tawuran?” Obrolan tiap jam istirahat itu akhirnya memperkaya pengetahuan saya
tentang sisi lain dunia pencarian identitas. Irham banyak membantu saya
mengetahui hal ini. Lelaki yang sangat mengandalkan otot ini memang senang
sekali bercerita ^^
“Untuk menaikkan nama sekolah lah, Kak.”
“Haaaa?? Nama buruk sih iya. Nama sekolah
kalian memang jadi terkenal, tapi terkenal di kantor polisi karena
murid-muridnya suka pada ditahan disana.”
“Tapi sekolah lain jadi pada tunduk sama
sekolah kita, Kak.”
“Lah terus kalau sudah tunduk, kenapa?”
“Kan keren. Selain antar sekolah, antar
wilayah juga sering tawuran. Buat menandakan kekuasaan, Kak. Misalnya saya nih
ya. Kan saya yang pegang daerah *****, anak buah saya tunduk gitu sama saya.
Kita bakal langsung gerak kalau ada yang macam-macam di daerah kita.”
Kepada pemimpin geng itu saya bertanya,
“Macam-macam gimana?”
“Misalnya ngebut naik motor pas lewatin
daerah kekuasaan kita. Atau nggak salam dulu, permisi dulu mau lewat. Ya gimana
sih kak, aturannya kan kalau kita mau bertamu masuk rumah orang ya harus salam
dulu. Kalau anak geng lain nggak salam sama kita, ya langsung kita sikat.”
“Hahaha, kamu tahu tuh kalau mau bertamu
harus salam dulu. Pinteeeer. Tapi kok yang nggak salam langsung disikat. Serem
banget.”
“Memang udah gitu aturannya, Kak. Geng
saya juga harus gitu kalau mau ke daerah kekuasaan geng lain.”
“Sikat menyikatnya gimana?”
“Kita nggak akan sikat langsung ditempat.
Kalau anak geng lain nggak mau minta maaf atas kesalahannya, kita langsung
bikin perjanjian.”
“Perjanjian apa?”
“Perjanjian kapan dan dimana mau tawuran.”
“Haaa? Ya ampun, Irham.”
“Ih si Kakak, jangan ya ampun ya ampun,”
Irham tertawa. “Ada tradisi khususnya. Misalnya ketua geng lain bilang, ‘besok
jam 2 pagi di tempat biasa’. Saya menyetujui. Nah ketua geng lain wajib kasih
saya rokok yang sudah dia hisap, nanti saya hisap balik. Begitu juga
sebaliknya. Saling mengisap rokok masing-masing itu pertanda perjanjian tawuran
kita sah.”
Saya semakin sering tepok jidat setelah
bertanya, “Kalau balap motor itu ngapain aja?” Dengan santainya Irham
menjelaskan. “Ya balap motor biasa, Kak. Selalu tengah malam pas jalanan
kosong. Atau kalau ada acara besar ya sewa Sirkuit Sentul. Yang ikut bisa
sampai ratusan, Kak.”
“Sirkuit Sentul? Niat amat. Yang menang
ada hadiahnya gitu?”
“Yaiyalah, Kak. Kalau balap liar biasa
paling hadiahnya motor atau mobil. Kalau balap liar di sirkuit bisa sampai
ratusan juta juga.”
“Hadiahnya mobil? Mobilnya siapa?”
“Ya mobilnya kita. Nanti sebelum balap,
kita harus menyerahkan kunci mobil kita. Kalau kalah, ya kunci dan mobilnya
harus dikasih ke yang menang.”
“Kamu pernah kalah?”
“Pernah.”
“Terus? Mobil kamu diambil?”
“Iyalah, Kakak.”
“Kok gampang banget bilang iyalah-nya.
Banyak orang yang nggak bisa punya mobil. Di pelosok-pelosok sebrang sungai
deras pakai getek. Kalian kok santai saja mobilnya diambil?”
“Makanya kita harus sering berlatih dan
mengambil kembali mobil kita, ambil mobil orang lain juga.”
“Ya ampun, Irham. Terus kalau hadiah
ratusan juta itu darimana duitnya? Kalian nggak mencuri, kan?”
“Kita nggak mencuri, Kak. Dosa. Duit
ratusan juta ya dari uang pendaftaran balap motor. Satu orang aja biaya
pendaftarannya 500 ribu, bahkan sampai 1 juta. Kalau dikalikan ratusan
pembalap, ya jadi banyak uangnya.”
“Iya juga sih. Itu kamu uang darimana
pendaftaran sampai 500 ribu?”
“Dari hasil lomba sebelumnya. Atau nggak,
kan kita pasti dikasih duit sama orangtua.”
Pas sekali, pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial kelas 3 SMP sedang memasuki bab Perubahan Sosial. Karena malas kalau
guru harus selalu mengoceh dan murid adalah kerbau yang dicucuk hidungnya, maka
saya meminta anak-anak menuliskan perubahan apa saja yang terjadi sebelum dan
sesudah mereka masuk pesantren. Seperti yang saya duga, protes keluar dari
mulut anak-anak, terutama Irham.
“Ah, Kak. Jangan deh.”
Saya mengira Irham malu. Ini pertanda
bagus. Buat orang seperti dia, malu itu penting. Malu itu pertanda dia mulai
bisa membedakan mana yang salah dan benar. Malu menceritakan masa lalunya
berarti dia tahu ada yang tidak biasa dalam hidupnya. Sebuah kesalahan. Besar.
Saya tetap keukeuh memberikan tugas itu. Menurut saya ini penting agar mereka
bisa mengidentifikasi diri mereka sendiri, bahwa segala di dunia ini sifatnya
dinamis. Orang tidak melulu salah, tidak selamanya benar, pasti terjadi
perubahan. Mereka juga bisa berubah menjadi lebih baik. Dan yang terpenting
adalah mereka tahu kalau perubahan positif terjadi karena digenjot oleh sesuatu
yang baik, sistem pendidikan pesantren salah satunya.
Akhirnya Irham menyerah. Ia mulai menulis
sambil menggerutu. Kelas seketika sunyi. Detik terus berjalan maju. Namun
ingatan anak-anak kembali ke masa satu hingga dua tahun silam, ketika mereka
belum mengenyam pendidikan pesantren. Jujur, awalnya saya takut memberi tugas
ini. Saya tidak ahli dalam psikologi. Saya tidak tahu apakah menceritakan
kembali masa suram mereka akan berdampak negatif atau tidak. Sambil menunggu
mereka menyelesaikan tugas, saya berharap-harap cemas.
Tulisan mencengangkan tidak hanya saya
dapatkan dari cerita masa lalu Irham, tetapi juga kelima murid saya lainnya.
Cerita mereka hampir sama, kecuali salah satu murid yang pernah menderita down syndrome.
Ketika ketiga kalinya anak kelas 3 SMP
istirahat tanpa Irham sejak hari kehilangannya, pengetahuan saya tentang dunia
pencarian identitas mereka bertambah karena Abi, Apri, dan Bia sangat terbuka
hari ini. Pertanyaan yang saya lontarkan senada, “Kok bisa sih kalian begitu?”
Secara tidak langsung, Bia menceritakan
kalau ia bisa masuk dunia gelap itu karena begini, “Saya dengan lelaki itu
awalnya cuman berteman biasa, terus kakak-kakakan gitu, Kak.” Dalam hati saya
mendengus, dimana-mana, yang namanya kakak-kakakan atau kakak ketemu gede yang
memang tidak ada hubungan halal tidak akan baik implikasinya. Bia melanjutkan,
“Mulanya hanya sering pulang sekolah bareng, lalu main dari pagi sampai sore,
lama-lama diajak keluar malam, bahkan pagi buta.”
“Kamu nggak nolak waktu diajak main
malam?”
“Nggak, Kak. Habisnya ngapain juga di
rumah, nggak ada kerjaan. PR kan suka aku kerjain di sekolah.”
“Ya kamu memang rajin sih ya, PR yang
Kakak kasih aja dikumpulin hari itu juga. Tapi kan kamu bisa bersih-bersih di
rumah?”
“Yeee, Kakak, masa aku bersih-bersih
rumah?”
Bukannya menyalahkan orangtua, tapi kalau
anak dibiarkan ‘menganggur’ saja di rumah, memang anak pasti mencari kesibukan
lain di luar rumah. Jadi, jangan salahkan anak sepenuhnya atas kesalahan yang
pernah dibuatnya. Menurut saya, kurangnya kontrol dari keluarga adalah pemicu
utama anak terus-menerus melakukan kesalahan.
Apalagi setelah saya googling kalau beberapa sifat penderita down syndrome adalah sifat periang, tepat waktu, penurut, dan lebih
rajin dari pada orang normal. Yang ingin saya tekankan disini adalah sifat
periangnya yang berlebihan. Terhadap apapun, Bia gampang sekali merasa senang.
Yang telah terjadi adalah ia senang melakukan hal-hal yang sebaiknya tidak
dilakukan anak seusianya.
Salah satu penatalaksanaannya adalah behavior theraphy. Dan menurut saya,
pesantren adalah tempat yang pas agar pemahaman tingkah laku yang sesuai dan
tidak sesuai dengan norma agama dan norma yang berlaku pada masayakat
diberikan. Apalagi keluarga (maaf saya harus menulis ini) telah gagal
mengontrol anaknya.
Dari penuturan Abi dan Apri, saya paham
kalau satu kalimat berikut sangat mempengaruhi usia remaja dalam bergaul: “Kan
gengsi, Kak, kalau kita nggak coba kayak gitu (rokok, narkoba, minuman keras,
dunia liar tengah malam, dan sejenisnya). Nanti kita nggak punya teman.” Mereka
berdua mendeskripsikan rasanya mencicip barang haram itu. Deskripsi yang tidak
bisa saya bayangkan.
Selesai bercerita, Abi banyak
menggaruk-garuk kepala berambut gondrongnya sambil berkata, “Astaghfirullah,
dosa banget saya, Kak. Zaman dulu tuh …” Abi tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia
hanya menggeleng mengusap wajahnya.
Namun setelah membaca paragraf terakhir
pada tugas IPS mereka, saya semakin yakin bahwa masuknya mereka ke pesantren
memang mengantarkan mereka kepada fase baru kehidupan. Jawaban atas pertanyaan
titik balik mereka. “Saya menyesal, Kak.”
Alhamdulillahirabbil’alamiin. Allah telah
membalikkan hati mereka, insya Allah ^^
Sebagai orang yang tahu suramnya masa lalu
mereka dan kenal sikap mereka selama kami belajar, saya bisa melihat perbedaan
yang sangat signifikan sebelum dan setelah mereka masuk pesantren. Penyesalan
itu mulai berbuah hasil. Pintu gerbang fase kehidupan baru dan penemuan
identitas mereka semakin terbuka lebar untuk dimasuki.
Misteri hilangnya Irham terbongkar karena
Bia memang sangat terbuka kepada saya. “Irham diskors, Kak. Dia dipulangkan.
Ustadz bilangnya sih seminggu. Tapi Bia nggak tahu Irham pulangnya kapan.”
Saya terkejut. “Irham kenapa diskors? Kok
pulang? Sebentar lagi kan ujian.”
“Dia melakukan kesalahan, Kak.”
Setelah lama pesantren pun Irham belum
bisa menjauh dari dunia lamanya. Ditemukan barang yang seharusnya tidak ada di
pesantren dari lemarinya. Irham dipulangkan dengan paksa. Orangtuanya tidak mau
menjemputnya. Irham pulang sendirian ke rumahnya yang ada di Jakarta. Naik apa?
Memang dia punya ongkos? Memang Irham tahu jalan pulang? Apa dia tersesat? Bagaimana keadaanmu sekarang, Irham? Apa ada
luka tambahan di tubuhmu? Bekas operasi kemarin kan belum sembuh betul,
bagaimana ini?
Seharusnya Irham sudah kelas 2 SMA, namun
karena ulahnya, ia tidak naik kelas berkali-kali dan tetap belajar di kelas 3
SMP. Kalau Irham diskors dan tidak ikut ujian, berarti ia akan tinggal kelas
lebih lama lagi. Hal ini tentu berdampak buruk pada psikologinya. Tidak naik
kelas bertahun-tahun bukan hal baik. Sebaliknya kalau tidak dihukum, tentu
Irham tidak akan jera. Dilema.
Tapi menurut saya, untuk anak yang sangat
berpengalaman terhadap hukuman seperti Irham, memberinya hukuman tidak akan
berhasil membuatnya menyesal. Irham harus diajak bicara baik-baik dan dikontrol
sangat ekstra.
Ketakutan yang terus membayangi saya
hingga sekarang adalah keluarnya Irham dari pesantren bukankah memudahkannya
bertemu kembali dengan teman-temannya? Bukankah gampang baginya untuk kembali
ke masa lalu? Apalagi Irham punya kuasa dan tanggung jawab besar terhadap
gengnya, tentu gengnya akan terus mengikatnya. Ya Allah, dimana pun dia,
lindungilah Irham.
Bagaimanapun, saya punya harapan besar
kepada Irham.
Ada satu kalimat yang saya ingat sehingga
harapan itu saya tanamkan padanya. “Kak, saya baru kali ini remedial,” kata
Irham cengengesan. Kalimatnya terlontar begitu saja ketika jam istirahat
selesai remedial Matematika.
“Ha?” Saya tidak mengerti. Bagaimana
mungkin seorang seperti Irham tidak pernah remed? Nilainya bagus terus? Kok
bisa? Tujuh dikali delapan aja mikirnya lama. Bukannya merendahkan, saya
menulis kenyataan saja.
“Nilai saya selalu jelek, Kak. Tapi
giliran disuruh remed, saya nggak pernah ikut. Males. Nanti nilai saya juga
jelek lagi. Mending main aja.” Dia merapihkan buku Matematikanya yang jarang
disentuh. “Ini pertama kali saya ikut remed.”
Saya mengangguk paham. “Iya sama-sama.”
Senyum saya mengembang setelah mendengar, “Terima kasih, Kak.”
Irham paling rajin kalau sepuluh menit
menjelang jam istirahat berteriak, “Kak istirahat, Kak.” Saya geleng-geleng.
Kalau mau istirahat, rajinnya paling jempol. Tapi giliran sudah waktunya istirahat,
dia masih anteng di kelas.
“Kamu nih gimana, paling berisik minta
istirahat, giliran istirahat malah nggak keluar kelas?”
Dengan santainya Irham menjawab, “Males
Kak istirahat, mau ngapain?”
Irham itu ibarat ember bocor. Ketika teman
sekelasnya bubar jalan, airnya merembes ke sudut kelas. Irham banyak bercerita
tentang hidupnya selama jam istirahat. Saya terpaksa menjadi ember penampung
airnya. Awalnya terpaksa. Saya paling tidak bisa mendengar orang lain curhat.
Tapi lama-lama, mendengar ceritanya yang tidak biasa, menyenangkan juga, bahkan
menambah wawasan.
Mungkin salah satu alasannya pengen cepat
istirahat adalah supaya dia bisa menjadi dirinya, orang yang suka asal, banyak
bicara, bermimpi tinggi, dan itu sulit ia lakukan ketika berada di dekat
teman-temannya ketika belajar. Saya rasa dia malu dilihat teman sekelasnya,
malu menjadi diri sendiri. Ketua geng tawuran seperti Irham, bisa malu juga.
Yeah, bagaimanapun Irham tetap manusia normal. Mata pisau pun tidak keduanya
tajam. Ada satu mata pisau yang tumpul, bukan?
Dari dirinya saya paham, orang seperti dia
hanya butuh teman bicara. Sebagai ember penampung, semakin banyak waktu
istirahat yang kami lalui bersama, semakin penuh air yang mengisi dalam ember
saya, dan semakin mengerti saya tentang Irham. Selembar tugas menulis Perubahan
Sosial tidak cukup menceritakan kisah hidupnya. Hal-hal yang luput tertulis,
dia kembangkan dalam setiap obrolan kami.
Di suatu jam istirahat, Irham berceloteh.
“Kak, kasih tahu dong, kalau mau jadi arsitek saya harus pintar apa?”
Saya melongo. Kenapa tiba-tiba tanya
begitu? Saya tahu Irham suka banget menggambar. Buka saja buku tulisnya,
halaman belakangnya penuh dengan gambar. Dari gravity sampai kaligrafi, Irham
jagonya. Dia mengajak saya main ke rumah pribadinya, katanya dinding kamarnya
penuh dengan gravity. Dia adalah bomber
(sebutan bagi mereka yang suka bikin gravity) yang aktif di Jakarta dan
Yogyakarta. Dia pernah memperlihatkan kepada saya desain poster bertema
kerusakan bumi. Keren sekali! Saya yang suka menggambar saja tidak bisa. Irham
selalu mengingatkan, “Kak, kalau ada lomba gambar di IPB kasih tahu saya, ya.”
Ya, dia serius sekali dengan hobi positifnya ini. Hal yang jarang saya temukan
di antara teman-temannya. Maka menjadi aristek adalah cita-cita yang wajar.
“Jadi arsitek? Hm… banyak. Kamu harus
pintar matematika dan fisika. Nggak modal gambar doang. Kamu harus tahu
kemiringan genteng yang unik. Kan itu pakai rumus Trigonometri matematika.
Terus juga ini. Tadi kita habis belajar Rangkaian Listrik kan? Nah, arsitek
juga harus tahu tuh listrik di rumah yang kamu buat harus dirangkai kayak
gimana. Sakelarnya dipasang dimana saja. Pakai rangkaian paralel atau seri.”
Saya mencoba ngeles.
Saya menyadari kalau menjadi pengajar itu
sulitnya minta ampun. Kamu tidak hanya mengajarkan orang sampai bisa, tapi juga
meyakinkan orang itu bahwa apa yang ia pelajari sangat penting bagi
kehidupannya. Dan sesuatu bisa penting kalau ada kaitannya dengan orang itu,
misalnya dengan cita-citanya. Walaupun saya juga kurang yakin kalau arsitek
juga mengurusi rangkaian listrik, setidaknya Irham mulai percaya bahwa belajar
susah-susah tentang voltmeter dan amperemeter ada gunanya. Apakah ini berhasil?
“Waduh, fisika ya, Kak?” Irham
menggaruk-garuk kepala merahnya. Waktu istirahat masih setengah lagi, saya
memutuskan juga ikut menggambar di buku saya. Sebagai orang yang juga senang
menggambar, masuk ke dunianya begitu mudah. Saya menantang Irham adu gambar
sebuah taman. Irham menyerah, katanya cuman bisa gambar rumah. Saya
mengajarinya menggambar perspektif satu titik hilang dan dua titik hilang. Lalu
saya menggambar taman bermain dengan sebuah lapangan basket, air mancur, lampu
taman, dan sarana bermain lainnya.
“Eh, bikin abang-abang tukang es krim
gimana, sih?”
Irham memberi contoh gambar sepeda gerobak
es krim, saya mengikutinya. Kami jadi saling mengajari. Yeah, orang menjadi
lebih percaya diri kalau kemampuannya bisa dibagi dengan orang lain toh?
Waktu istirahat yang saya lalui tanpa
Irham, meskipun terkesan berlebihan, saya tidak bisa bohong kalau saya rasa ada
yang kurang. Biasanya saya mendengar Irham teriak-teriak, menyanyi sumbang,
sekedar bercerita, atau melihat tangannya iseng menggambar di meja dan tembok.
Remedial. Kita biasa mengalami remedial
kalau hasil ujian kita jelek. Dalam remedial ini, kita diberi kesempatan untuk
belajar lagi, memperbaiki yang salah, membaguskan nilai. Sebagai manusia yang
tidak mungkin luput dari kesalahan, kita berkali-kali diberi kesempatan oleh
Allah Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang untuk memperbaiki hidup kita. Dalam
ujian hidup, kita sering mengalami remedial berkali-kali. Irham juga diberi
remedial berulang-ulang untuk menata hidupnya. Buktinya, pesantren tempat saya
mengajar sekarang masih menerimanya meski tinta merah menghiasi catatan tebal
masa lalunya.
Atas titik balik menuju fase baru dalam
kehidupan, remedial dibutuhkan agar pencarian identitas kita bisa utuh.
Irham. Kamu dimana? Kamu jangan menghilang
dulu, Kakak belum kasih apa-apa. Kakak pengen kasih kamu buku sketsa kalau ada
nilai ujianmu yang bagus. Kembalilah. Sama-sama kita dempul perahu kehidupanmu
yang rusak.
guru yang baik
ReplyDeletelebih tepatnya guru yang play safe, and that's not good, is it?
Delete