12/15/13

Memelihara



Pertama kalinya saya menonton acara Mario Teguh sampai habis, ada satu kalimat yang masih saya ingat. Intinya begini: “Jangan jatuh cinta hanya sekali. Jatuh cintalah berkali-kali, pada orang yang sama”. Meminjam kalimatnya, saya percaya begini: “Jatuh cintalah berkali-kali pada sesuatu yang sama”. Menurut saya ini penting untuk memelihara cinta yang sudah ada. Seorang bijak pernah berkata, “Cinta itu seperti tanaman, harus pandai dipelihara, disirami, diberi pupuk, disiangi dari gulma, agar ia tumbuh dengan baik. Karena kalau dibiarkan, ia bisa mati.” Maka terhadap sesuatu yang kita cintai, peliharalah cinta itu baik-baik. Maka jatuh cintalah pada sesuatu itu sesering mungkin agar cinta itu terpelihara.

Hahaha. Sebenarnya mau nulis apa sih? Ya itu tadi, memelihara cinta terhadap sesuatu. Maklum, namanya juga manusia. Jenuh adalah fitrah pernah dirasa. Menganggap bahwa ideologi yang dipilih, jalan yang sedang ditapaki rasa-rasanya kok begini-begini saja, datar, tidak ada sesuatu yang wah. Kalau sudah begitu, mungkin kita harus mawas diri, bisa jadi kadar cinta kita berkurang. Kadar cinta yang berkurang bukan berarti porsi cintamu sudah mencapai titik maksimum (jadi ingat Hukum Gossen I nih). Menurut saya, kadar cinta yang berkurang berarti kita harus mencintai lagi, makanya Mario Teguh memberi petuah untuk jatuh cinta berkali-kali. Ingat ya, cinta yang sedang saya bahas ini tidak hanya berlaku terhadap seseorang, tetapi juga sesuatu. Dan sesuatu yang menurut saya penting untuk kita cintai berkali-kali adalah agama kita. Islam, kalau saya.

Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar jatuh cinta berkali-kali pada Islam? Bagaimana kita bisa memelihara cinta pada Islam? Saya punya jawaban asyik untuk itu, dan mumpung belum terlambat, masih nongkrong di studio 3 di 21-nya Botanical Square, Bogor. Yaaaa betuuuul. Salah satu cara agar kita jatuh cinta berkali-kali kepada Islam adalah menonton 99 Cahaya di Langit Eropa ^^ (promosi banget ini -___-).

Poster Film

 Jenuh sedang melanda Hanum (diperankan Acha Septriasa) ketika ia harus menghabiskan hidupnya di Wina, Austria sambil menemani suaminya, Rangga (diperankan Abimana) yang mengambil kuliah disana. Tiap sudut Wina sudah ia abadikan dalam kameranya. Sepertinya sudah tidak ada lagi tempat yang menarik. Sebagai orang yang tidak fasih berbahasa lokal, Hanum seperti hidup sendiri. Ia jenuh. Maunya pulang saja ke Indonesia. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Fatma (diperankan Raline Shah yang cantik banget itu dan mirip saya tapi hidungnya doang -___-). Ibu beranak satu (namanya Ayse) asal Turki ini menepis kejenuhan Hanum di Wina. Fatma mengajak Hanum keliling Wina, mengunjungi tempat menarik dimana Islam pernah memiliki peran penting disana.

Ada satu quote keren yang saya suka. Intinya begini: dengan berpergian, mengunjungi berbagai tempat, kita jadi tahu banyak hal. Tapi menurut saya, teman seperjalanan juga memiliki peran dalam memberi arti dari perjalanan itu. Teman yang banyak ilmunya seperti Fatma adalah teman yang wajib dijadikan teman berjalan. Fatma memberi banyak pengetahuan sejarah Islam di Eropa, bahwa Islam berperan sangat banyak dalam kebangkitan Eropa, baik dari ilmu eksak, arsitektur, hingga seni rupa. Dan mengetahui kesemua ini sambil berjalan-jalan adalah kunci kita untuk membuka pintu agar cinta kita terhadap Islam semakin terpelihara. Mengikuti perjalanan mereka dalam film ini membuat saya jatuh cinta berkali-kali kepada Islam. Coba deh, kalian juga pasti suka! Jangan lupa siapkan tisu ya, karena selain jatuh cinta berkali-kali, kalian juga akan menangis berkali-kali saking kagumnya terhadap Islam ^^

Kemana saja Fatma dan Hanum menengok jejak Islam di Eropa? Hhmmm tonton saja film-nya. Atau baca bukunya Mbak Hanum (dengan judul yang sama) juga boleh. Sebagai informasi, ada perbedaan antara film dan bukunya. Iyalah, kalau sama, buat apa buku dijadikan film? Selain kita memang bisa melihat secara langsung lukisan Kara Mustafa di Museum Wina, atau mengetahui kehidupan di Eropa Barat, merpati yang berterbangan di halaman universitas, luasnya perpustakaan kampus (luasnya luas banget, saya bisa buka minimarket di dalamnya!), monorel yang berbagi jalan dengan bus dan pengguna sepeda, serta kota yang bersih, perbedaannya mencolok lainnya adalah di film itu konflik antara pemeluk Islam sebagai kaum minoritas di Eropa sangat jelas terasa.

Sesak banget rasanya mengetahui Fatma ditolak kerja mentah-mentah. Alasannya karena bahasa Jerman yang tidak lancar. Namun, sebagai peraih nilai tertinggi pada ujian bahasa Jerman, Fatma tahu pasti mengapa ia tidak diterima kerja dimanapun. Alasan utamanya adalah Fatma berhijab. Kerudung dan gamis panjangnya tidak hanya membatasi pandangan lawan jenisnya (yang justru menyelamatkan kaum pria dari derita neraka kalau melihat bagian tubuh wanita yang haram untuk dilihat), tetapi juga membatasi dunianya. Se-modern apapun Eropa, bagian bumi ini masih menderita penyakit kuno, Islamophobia. Astaghfirullahal’azdim.

Kita yang berhijab dan tinggal di Indonesia seharusnya bersyukur karena pandangan curiga dari orang lain tidak menikam diri kita. Pergilah ke Eropa atau daerah lain dimana Muslim menjadi minoritas. Kamu yang berkerudung harus siap dinobatkan sebagai teroris. Hal ini juga terjadi kepada Ayse. Di sekolahnya ia harus menyantap ejekan dan intimidasi dari teman-temannya setiap hari hanya karena rambutnya tertutup kain kerudung.

Rangga juga terserang dilema antara menegakkan keyakinannya dengan menerima cobaan realita. Ia harus mengikuti ujian kuliah (yang kalau ditinggalkan maka ia harus mengikuti ujian tahun depan) sementara adzan ajakan sholat Jum’at berkumandang rendah di mesjid terdekat. Berhari-hari ia menimbang hingga akhirnya memilih mengikuti ujian, tidak seperti teman Pakistannya yang tidak mungkin bernegosiasi antara kewajibannya sebagai makhluk Allah dengan mahasiswa. Rangga sangat menyesal dan mencurahkannya kepada imam mesjid. Kalimat yang saya suka dari imam mesjid adalah, “Perkara yang benar dan salah, serahkan kepada Allah, hanya Allah yang berhak menentukan, bukan kita sebagai manusia.”

Memelihara cinta kepada Islam di ranah Eropa sebetulnya banyak sekali cobaannya. Hanum dan Rangga hidup dalam keadaan dimana lingkungannya berbeda jauh dengan ideologi mereka. Salah satu teman Rangga, Stefan, berkali-kali mengatakan bahwa ajaran Islam begitu mempersulit pemeluknya, apalagi setelah Stefan mencoba ikut menahan lapar ketika Rangga puasa Senin-Kamis.

“Kamu harus sholat lima kali sehari, berpuasa, berdesak-desakkan ketika haji. Kenapa Tuhan kamu senang sekali menyusahkan umatnya?”

Kalau saya yang ditanya begitu, maunya melayangkan bogem saja. Namun demi memelihara hubungannya dengan ateis itu, Rangga meyakinkan, “Saya tidak merasa sulit dengan itu semua. Sholat, puasa, dan ibadah haji adalah premi asuransi saya kepada Tuhan. Berapa kamu harus bayar asuransi setiap bulan?”

“Delapan puluh euro.”

“Mahal sekali. Kenapa kamu harus bayar asuransi? Kamu takut kalau kamu kecelakaan nanti tidak ada yang menolongmu, makanya kamu bayar asuransi supaya perusahaan itu menolongmu.”

“Hei, saya tahu dimana kantor perusahaan asuransi saya, jadi saya tidak takut kena tipu. Nah, kalau kamu, Tuhan kamu kantornya dimana? Bagaimana kalau sebenarnya Tuhanmu itu tidak ada?”

Aaaaakkkhhh, berisik banget sih si Stefan ini! Tangan saya jadi panas. “Astaghfirullah.” Rangga beristighfar. Itu baru satu Stefan yang ia temui, masih ada ribuan Stefan lain yang akan mempermainkan keyakinannya di Eropa itu. Begini cara kerja Allah, Ia akan membuka hati yang Allah Kehendaki, dan menutup hati orang yang Allah Kehendaki. Mudah-mudahan saya selalu bertemu dengan orang-orang yang terbuka hatinya saja deh, ribet kalau ketemu orang macam Stefan, bisa naik tikam >.<

Saya salut dengan cara Rangga dan Fatma menghadapi intimidasi lingkungan terhadap keyakinan mereka. Kedua insan itu memelihara cinta mereka kepada Islam dengan cara damai. Kalau saya bilang, dengan penuh kasih. Misalnya begini. Fatma diberitahu Hanum kalau ada dua orang Wina menjelek-jelekkan Turki dengan memakan roti Croissant (yang bentuknya mirip bulan sabit dan merupakan gambar bendera Turki) yang melambangkan kekalahan Turki melakukan ekspansi ke Eropa Barat. Fatma bukannya marah, tapi malah membayar roti yang dimakan dua Wina itu.

Lain dengan Fatma, Rangga pernah dibuat tersenyum lebar oleh (lagi-lagi) si ateis Stefan. Dia bilang, “Kenapa kamu tidak makan babi? Babi kan enak.” Rangga menjawab kalau haramnya babi untuk dimakan adalah aturan dari Allah. Rangga menambahkan, “Di negaraku ada orang yang memakan anjing seperti peliharaanmu itu.” Stefan langsung memeluk anjingnya, “Aku sangat menyayangi anjingku, tidak mungkin aku memakannya.” Rangga menjelaskan, “Aku juga sangat meyayangi Tuhanku, tidak mungkin aku makan babi.”

Ini yang membuat Hanum geram. “Seharusnya kamu melawan. Memberontak. Kita tidak boleh begini terus.” Namun Fatma menolaknya. Bagi Fatma, kalau ada jalan kedamaian, mengapa kita harus memilih pedang untuk menegakkan kebenaran. “Islam, bukan hanya jalan yang kita pilih, melainkan juga jejak yang kita tinggalkan.” Dari Fatma, saya suka kalimat ini, selain gamis-gamisnya yang kece banget ^^

Menganggap Islam hanya jalan yang dipilih saja memang terkesan egois. Rasa-rasanya hanya kita lah yang bisa aman dari siksa dunia dan akhirat. Menganggap Islam juga adalah jejak yang kita tinggalkan, nah itu baru oke. Sebagai agen muslim, Fatma mengajarkan kepada saya bahwa kita juga harus meninggalkan jejak Islam dimana pun kita berada.

Bagaimana caranya? Gampang, menurut Hanum. Berperilaku baik terhadap siapapun meski orang itu pernah menginjak-injak keyakinan kita, menebarkan senyum, saling tolong-menolong dalam kebaikan, dan banyak hal mudah dan murah yang bisa kita lakukan. Kita hanya perlu membuka mata, banyak hal di dunia ini yang bisa dijadikan kesempatan untuk menebarkan Islam. Dan menurut saya, meninggalkan jejak Islam di berbagai tempat juga adalah cara memelihara kenyamanan yang ditawarkan Islam. Berani mencoba? Yuk kita tinggalkan jejak keislaman kita, mulai dari satu sentimeter tempat kita berdiri sekarang ^^

No comments:

Post a Comment