Pertama kalinya saya menonton acara Mario
Teguh sampai habis, ada satu kalimat yang masih saya ingat. Intinya begini:
“Jangan jatuh cinta hanya sekali. Jatuh cintalah berkali-kali, pada orang yang
sama”. Meminjam kalimatnya, saya percaya begini: “Jatuh cintalah berkali-kali
pada sesuatu yang sama”. Menurut saya ini penting untuk memelihara cinta yang
sudah ada. Seorang bijak pernah berkata, “Cinta itu seperti tanaman, harus
pandai dipelihara, disirami, diberi pupuk, disiangi dari gulma, agar ia tumbuh
dengan baik. Karena kalau dibiarkan, ia bisa mati.” Maka terhadap sesuatu yang
kita cintai, peliharalah cinta itu baik-baik. Maka jatuh cintalah pada sesuatu
itu sesering mungkin agar cinta itu terpelihara.
Hahaha. Sebenarnya mau nulis apa sih? Ya
itu tadi, memelihara cinta terhadap sesuatu. Maklum, namanya juga manusia.
Jenuh adalah fitrah pernah dirasa. Menganggap bahwa ideologi yang dipilih,
jalan yang sedang ditapaki rasa-rasanya kok begini-begini saja, datar, tidak
ada sesuatu yang wah. Kalau sudah begitu, mungkin kita harus mawas diri, bisa
jadi kadar cinta kita berkurang. Kadar cinta yang berkurang bukan berarti porsi
cintamu sudah mencapai titik maksimum (jadi ingat Hukum Gossen I nih). Menurut
saya, kadar cinta yang berkurang berarti kita harus mencintai lagi, makanya
Mario Teguh memberi petuah untuk jatuh cinta berkali-kali. Ingat ya, cinta yang
sedang saya bahas ini tidak hanya berlaku terhadap seseorang, tetapi juga
sesuatu. Dan sesuatu yang menurut saya penting untuk kita cintai berkali-kali
adalah agama kita. Islam, kalau saya.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya
agar jatuh cinta berkali-kali pada Islam? Bagaimana kita bisa memelihara cinta
pada Islam? Saya punya jawaban asyik untuk itu, dan mumpung belum terlambat,
masih nongkrong di studio 3 di 21-nya Botanical Square, Bogor. Yaaaa betuuuul.
Salah satu cara agar kita jatuh cinta berkali-kali kepada Islam adalah menonton
99 Cahaya di Langit Eropa ^^ (promosi banget ini -___-).
Poster Film |
Jenuh sedang melanda Hanum (diperankan
Acha Septriasa) ketika ia harus menghabiskan hidupnya di Wina, Austria sambil
menemani suaminya, Rangga (diperankan Abimana) yang mengambil kuliah disana.
Tiap sudut Wina sudah ia abadikan dalam kameranya. Sepertinya sudah tidak ada
lagi tempat yang menarik. Sebagai orang yang tidak fasih berbahasa lokal, Hanum
seperti hidup sendiri. Ia jenuh. Maunya pulang saja ke Indonesia. Hingga
akhirnya ia bertemu dengan Fatma (diperankan Raline Shah yang cantik banget itu
dan mirip saya tapi hidungnya doang -___-). Ibu beranak satu (namanya Ayse)
asal Turki ini menepis kejenuhan Hanum di Wina. Fatma mengajak Hanum keliling
Wina, mengunjungi tempat menarik dimana Islam pernah memiliki peran penting
disana.
Ada satu quote keren yang saya suka.
Intinya begini: dengan berpergian, mengunjungi berbagai tempat, kita jadi tahu
banyak hal. Tapi menurut saya, teman seperjalanan juga memiliki peran dalam
memberi arti dari perjalanan itu. Teman yang banyak ilmunya seperti Fatma
adalah teman yang wajib dijadikan teman berjalan. Fatma memberi banyak
pengetahuan sejarah Islam di Eropa, bahwa Islam berperan sangat banyak dalam
kebangkitan Eropa, baik dari ilmu eksak, arsitektur, hingga seni rupa. Dan
mengetahui kesemua ini sambil berjalan-jalan adalah kunci kita untuk membuka
pintu agar cinta kita terhadap Islam semakin terpelihara. Mengikuti perjalanan
mereka dalam film ini membuat saya jatuh cinta berkali-kali kepada Islam. Coba deh,
kalian juga pasti suka! Jangan lupa siapkan tisu ya, karena selain jatuh cinta
berkali-kali, kalian juga akan menangis berkali-kali saking kagumnya terhadap
Islam ^^
Kemana saja Fatma dan Hanum menengok jejak
Islam di Eropa? Hhmmm tonton saja film-nya. Atau baca bukunya Mbak Hanum
(dengan judul yang sama) juga boleh. Sebagai informasi, ada perbedaan antara
film dan bukunya. Iyalah, kalau sama, buat apa buku dijadikan film? Selain kita
memang bisa melihat secara langsung lukisan Kara Mustafa di Museum Wina, atau
mengetahui kehidupan di Eropa Barat, merpati yang berterbangan di halaman
universitas, luasnya perpustakaan kampus (luasnya luas banget, saya bisa buka
minimarket di dalamnya!), monorel yang berbagi jalan dengan bus dan pengguna
sepeda, serta kota yang bersih, perbedaannya mencolok lainnya adalah di film
itu konflik antara pemeluk Islam sebagai kaum minoritas di Eropa sangat jelas
terasa.
Sesak banget rasanya mengetahui Fatma
ditolak kerja mentah-mentah. Alasannya karena bahasa Jerman yang tidak lancar.
Namun, sebagai peraih nilai tertinggi pada ujian bahasa Jerman, Fatma tahu
pasti mengapa ia tidak diterima kerja dimanapun. Alasan utamanya adalah Fatma
berhijab. Kerudung dan gamis panjangnya tidak hanya membatasi pandangan lawan
jenisnya (yang justru menyelamatkan kaum pria dari derita neraka kalau melihat
bagian tubuh wanita yang haram untuk dilihat), tetapi juga membatasi dunianya.
Se-modern apapun Eropa, bagian bumi ini masih menderita penyakit kuno,
Islamophobia. Astaghfirullahal’azdim.
Kita yang berhijab dan tinggal di
Indonesia seharusnya bersyukur karena pandangan curiga dari orang lain tidak
menikam diri kita. Pergilah ke Eropa atau daerah lain dimana Muslim menjadi minoritas.
Kamu yang berkerudung harus siap dinobatkan sebagai teroris. Hal ini juga
terjadi kepada Ayse. Di sekolahnya ia harus menyantap ejekan dan intimidasi
dari teman-temannya setiap hari hanya karena rambutnya tertutup kain kerudung.
Rangga juga terserang dilema antara
menegakkan keyakinannya dengan menerima cobaan realita. Ia harus mengikuti
ujian kuliah (yang kalau ditinggalkan maka ia harus mengikuti ujian tahun
depan) sementara adzan ajakan sholat Jum’at berkumandang rendah di mesjid
terdekat. Berhari-hari ia menimbang hingga akhirnya memilih mengikuti ujian,
tidak seperti teman Pakistannya yang tidak mungkin bernegosiasi antara
kewajibannya sebagai makhluk Allah dengan mahasiswa. Rangga sangat menyesal dan
mencurahkannya kepada imam mesjid. Kalimat yang saya suka dari imam mesjid
adalah, “Perkara yang benar dan salah, serahkan kepada Allah, hanya Allah yang
berhak menentukan, bukan kita sebagai manusia.”
Memelihara cinta kepada Islam di ranah
Eropa sebetulnya banyak sekali cobaannya. Hanum dan Rangga hidup dalam keadaan
dimana lingkungannya berbeda jauh dengan ideologi mereka. Salah satu teman
Rangga, Stefan, berkali-kali mengatakan bahwa ajaran Islam begitu mempersulit
pemeluknya, apalagi setelah Stefan mencoba ikut menahan lapar ketika Rangga puasa
Senin-Kamis.
“Kamu harus sholat lima kali sehari,
berpuasa, berdesak-desakkan ketika haji. Kenapa Tuhan kamu senang sekali
menyusahkan umatnya?”
Kalau saya yang ditanya begitu, maunya
melayangkan bogem saja. Namun demi memelihara hubungannya dengan ateis itu,
Rangga meyakinkan, “Saya tidak merasa sulit dengan itu semua. Sholat, puasa,
dan ibadah haji adalah premi asuransi saya kepada Tuhan. Berapa kamu harus
bayar asuransi setiap bulan?”
“Delapan puluh euro.”
“Mahal sekali. Kenapa kamu harus bayar asuransi?
Kamu takut kalau kamu kecelakaan nanti tidak ada yang menolongmu, makanya kamu
bayar asuransi supaya perusahaan itu menolongmu.”
“Hei, saya tahu dimana kantor perusahaan
asuransi saya, jadi saya tidak takut kena tipu. Nah, kalau kamu, Tuhan kamu kantornya
dimana? Bagaimana kalau sebenarnya Tuhanmu itu tidak ada?”
Aaaaakkkhhh, berisik banget sih si Stefan
ini! Tangan saya jadi panas. “Astaghfirullah.” Rangga beristighfar. Itu baru
satu Stefan yang ia temui, masih ada ribuan Stefan lain yang akan mempermainkan
keyakinannya di Eropa itu. Begini cara kerja Allah, Ia akan membuka hati yang
Allah Kehendaki, dan menutup hati orang yang Allah Kehendaki. Mudah-mudahan
saya selalu bertemu dengan orang-orang yang terbuka hatinya saja deh, ribet
kalau ketemu orang macam Stefan, bisa naik tikam >.<
Saya salut dengan cara Rangga dan Fatma
menghadapi intimidasi lingkungan terhadap keyakinan mereka. Kedua insan itu
memelihara cinta mereka kepada Islam dengan cara damai. Kalau saya bilang,
dengan penuh kasih. Misalnya begini. Fatma diberitahu Hanum kalau ada dua orang
Wina menjelek-jelekkan Turki dengan memakan roti Croissant (yang bentuknya
mirip bulan sabit dan merupakan gambar bendera Turki) yang melambangkan
kekalahan Turki melakukan ekspansi ke Eropa Barat. Fatma bukannya marah, tapi
malah membayar roti yang dimakan dua Wina itu.
Lain dengan Fatma, Rangga pernah dibuat
tersenyum lebar oleh (lagi-lagi) si ateis Stefan. Dia bilang, “Kenapa kamu
tidak makan babi? Babi kan enak.” Rangga menjawab kalau haramnya babi untuk
dimakan adalah aturan dari Allah. Rangga menambahkan, “Di negaraku ada orang
yang memakan anjing seperti peliharaanmu itu.” Stefan langsung memeluk
anjingnya, “Aku sangat menyayangi anjingku, tidak mungkin aku memakannya.”
Rangga menjelaskan, “Aku juga sangat meyayangi Tuhanku, tidak mungkin aku makan
babi.”
Ini yang membuat Hanum geram. “Seharusnya
kamu melawan. Memberontak. Kita tidak boleh begini terus.” Namun Fatma
menolaknya. Bagi Fatma, kalau ada jalan kedamaian, mengapa kita harus memilih
pedang untuk menegakkan kebenaran. “Islam, bukan hanya jalan yang kita pilih,
melainkan juga jejak yang kita tinggalkan.” Dari Fatma, saya suka kalimat ini,
selain gamis-gamisnya yang kece banget ^^
Menganggap Islam hanya jalan yang dipilih
saja memang terkesan egois. Rasa-rasanya hanya kita lah yang bisa aman dari
siksa dunia dan akhirat. Menganggap Islam juga adalah jejak yang kita
tinggalkan, nah itu baru oke. Sebagai agen muslim, Fatma mengajarkan kepada
saya bahwa kita juga harus meninggalkan jejak Islam dimana pun kita berada.
Bagaimana caranya? Gampang, menurut Hanum.
Berperilaku baik terhadap siapapun meski orang itu pernah menginjak-injak
keyakinan kita, menebarkan senyum, saling tolong-menolong dalam kebaikan, dan
banyak hal mudah dan murah yang bisa kita lakukan. Kita hanya perlu membuka
mata, banyak hal di dunia ini yang bisa dijadikan kesempatan untuk menebarkan
Islam. Dan menurut saya, meninggalkan jejak Islam di berbagai tempat juga
adalah cara memelihara kenyamanan yang ditawarkan Islam. Berani mencoba? Yuk
kita tinggalkan jejak keislaman kita, mulai dari satu sentimeter tempat kita
berdiri sekarang ^^
No comments:
Post a Comment