27 April 2013
Sebelum memulai safarnama ini,
akan lebih baik saya beritahu dulu. Kamera saya ngambek kemarin malam,
tiba-tiba batre habis padahal baru diisi penuh. Kayaknya kena virus tuh. Inilah
karma bagi manusia yang malas merawat barang elektronik seperti saya. Hp,
kamera, laptop bervirus semua. Maka foto-foto yang akan disajikan berikut ini
adalah hasil memotret saya menggunakan kamera Anggun. Terima kasih Anggun
karena bersedia menyerahkan – hanya selama di Papandayan – kamera anyar Anda. Nah,
kalo ada foto sayanya berarti bukan saya yang memotret, nanti akan saya
cantumkan siapa yang memotret sebagai apresiasi dari saya. Hahaha penting
banget nih, fotografer harus dihargai dong!
Karena kata teman-teman puncak
Papandayan nggak sekosong puncak gunung lain, maka kami nggak mengejar matahari
terbit di puncak. Kosong maksud saya itu ada lahan luas. Puncak Papandayan itu
penuh pohon, susah kalo mau melihat matahari, harus manjat pohon dulu. Lagi
pula, gunung tidak hanya tentang matahari terbit dan pantai tidak hanya tentang
matahari terbenam. Jadi, apa yang kamu kejar di Papandayan, Nis? Hm, apa ya?
Nggak tahu tuh. Pelepas kangen udah lama nggak mendaki aja.
Pagi-pagi kami memilah dan
memilih barang apa saja yang akan dibawa. Minuman dan makanan. Yaiyalah. Selain
itu bawa matras, perlengkapan sholat, kompor, oksigen, fly sheet, jas hujan, dll. Hanya Kak Sule, Fahmi, Kak Ifa, Kak
Rahmi, dan Diska saja yang membawa gendongan. Isi tas mereka masuk ke carrier saya dan saya titip di kantor
administrasi bersama tas Elok dan Anggun. Ihiiiy, mantap banget nih saya nggak
bawa apa-apa. Eh eh pada akhirnya tas Diska gantian saya yang bawa. Kantong
sampah hasil pungutan saya dan Kak Rahmi (nanti ada bagian khusus cerita ini)
juga saya angkut. Perjalanan turun gunung giliran saya yang bawa carrier Kak Ifa. Yayaya atas nama
solidaritas, gantian lah bawa beban, lagi pula nggak berat-berat amat.
Jam 8 lewat sekian kami baru
melangkah keluar parkiran setelah cukup lama menunggu teman-teman PTN saya menerima
panggilan alam. Hehehe, agak deg-deg-an mungkin ya karena ini pendakian pertama
mereka. Untung saya sudah menerima panggilan alam kemarin malam. Jadi nggak
terlalu memperlambat keberangkatan. Hahaha, nggak penting banget sih ini
diceritain.
Trek Kawah
Keluar dari parkiran, jalan con block yang rusak membentang. Kami
berjalan bersisian dengan suami istri petani yang juga ikut naik dalam
perjalanan menuju kebun mereka. Agak bingung juga sih, dimana-mana batu dan
pohon, mana kebunnya? Harus saya akui, kekuatan kaki mereka keren sekali.
Setiap hari harus menyebrang kawah untuk berkebun. Apalagi sang suami, ia
memanggul beban yang sangat berat di punggungnya. Peluh tak ayal menetes dari
keningnya. Sang istri yang berjalan di depan sesekali menunggu sang suami.
|
Petani Seberang Kawah |
Kalo sudah begini, saya suka
sebel sendiri. Banyak punggung-punggung keluarga yang menanggung beban hidup di
desa-desa, bahkan di tempat ekstrim seperti di kawah gunung. Melalui jalan yang
sulit, membawa karung berkilo-kilo, mendapatkan hasil yang kalo di jual di
pasar juga tidak seberapa, bisa membiayai anak sekolah ke kabupaten sudah
untung besar. Tapi di kota, banyak sekali mereka yang berdasi kinclong kerjanya
hanya duduk-duduk di belakang meja porselen sambil menikmati sejuknya AC.
Kesuksesan mereka diukur dengan berapa banyak mobil pribadi yang nangkring di
garasi, seberapa jauh anak Anda bersekolah ke luar negeri, seberapa tebal
dompet Anda disesaki kartu ATM yang isinya berpuluh-puluh juta. Saya nggak
paham adil itu apa, hanya Sang Maha Adil saja yang bisa memberi keadilan bagi
kita semua dan mengadili kita di hari pengadilan nanti.
|
Menunggu Suami |
Sepuluh menit berlalu, mata
kami dimanjakan oleh pemandangan kawah yang bagus banget. Subhanallah! Kawah
Papandayan beda banget dengan Kawah Ratu yang pernah saya sebrangi saat ke
Salak dulu. Di Kawah Ratu, jejeran pohon gosong menyambut saya sebelum akhirnya
mencapai kawah utama. Nah kalo di Papandayan, saya menemui kawah dulu baru
hutan matinya. Keren lah.
|
Rombongan Unpad |
Hm, kek mana saya
mendeskripsikan Kawah Papandayan ini ya? Asap putih pekat membumbung tinggi.
Wangi belerang menyengat. Jutaan batu kawah dari yang kecil banget dan bikin
tergelincir sampai yang segede bentangan tangan manusia. Bunyi gemericik aliran
air kecil di sela-sela batu. Suara blubuk-blubuk air abu-abu mendidih yang
mungkin bisa bikin kita mateng dari dalam lubang. Seekor Scarabaeidae sebesar
jempol merayap lucu. Dan ini yang paling saya suka: ratusan cantigi berumur
jagung di sepanjang kawah. Dengar-dengar tahun 2007 (benar nggak?) Papandayan
meletus. Nah, pohon-pohon cantigi ini baru saja ditanam sebagai usaha manusia mengonservasi
daerah bekas letusan. Memang masih kecil, sih. Mudah-mudahan kalo ada izin
Allah datang lagi kesini, cantiginya sudah besar-besar ya. Kan lumayan buat
tempat berteduh hehe.
|
Generasi Baru Cantigi: difoto oleh Diska |
Aduh maaf narsis dikit di
kawah haha. Oh iya, kalo kalian lewat kawah (dan memang harus lewat kawah kalo
mau tahu keindahan Papandayan lainnya), jangan lupa mengenakan masker atau bawa
tisu basah wangi ya. Ini penting banget karena hawa belerangnya cukup menusuk
hidung. Kalo nggak kuat bisa pusing. Tapi seingat saya, kemarin itu nggak sebau
di Kawah Ratu.
Saya mengenakan pasmina bukan
untuk gaya-gayaan (plis deh, siapa juga yang mau lihat saya nge-gaya di gunung?
Tapi kata Kak Rahmi, “Sumpah, lo jilbaber abis.” Bodo -.-). Pasmina ini
multifungsi. Selain jadi pengganti syal dan bikin hangat, kain ini bisa kalian
modifikasi sesuai kebutuhan. Misalnya, penutup kepala dan wajah dari panas
(padahal udah ditutup kerudung, eh), pengganti masker (ampuh nih), pelindung bagian
leher (lumayan kalo ada angin lewat), penghapus peluh kalo keringatan, dan
sebagai senjata kalo ada yang berani macam-macam sama saya, biar saya ikat
kreeek.
Pemulung di Gunung
Trek kawah terlewati.
Alhamdulillah tabung oksigen belum terpakai di sini. Perjalanan dilanjutkan
melalui jalan lebar dan tetap berbatu. Kami bertemu dengan rombongan Unpad
ketika hendak melewati sungai kecil. Yah, basah dong? Tenang kawan, banyak
batu-batu besar yang bisa ditapaki sehingga sepatu tetap kering. Tapi tetap
harus hati-hati karena licin. Kalo jatuh kan sakit (yaiyalah).
Jalan mulai menanjak. Di
pinggirnya terdapat tebing tinggi dengan pipa-pipa saluran air tertambat. Kalo
ada yang iseng bolongin pipa, waaaaahh minta dikeroyok satu kampung tuh! Orang
di bawah susah-susah dapat air, eh pipanya malah dirusakin. Nggak
berkeprikemanusiaan banget sih. Agak sebelnya lagi adalah melihat coretan
nama-nama anak alay di dinding tebing. Aduh kasihan itu tebingnya kotor hei.
Dan yang paling menjengkelkan
yaitu banyaknya sampah berserakan di sepanjang jalan. Kak Rahmi menggerutu
nggak karuan. Teman saya selama memimpin jalan itu membungkuk dan mengambil
satu-satu sampah yang terlihat. Waaah keren banget kakak yang satu ini. Selama
mendaki, baru kali ini saya lihat orang yang langsung melakukan tanpa banyak
bicara. Dan dia berhasil membuat saya malu untuk diam saja. Alhasil kami berdua
jadi pemulung sampah dadakan di Papandayan.
“Gue pernah buang sampah di
gunung soalnya, jadi merasa bersalah,” kata Kak Rahmi.
“Iya, gue juga, kak.”
|
Kak Rahmi's Simple Action |
Plastik permen, putung rokok,
bungkus mie instan, kemasan minuman saset, dan masih banyak lagi jenis sampah
yang kami ‘koleksi’. Bahkan saya menemukan 2 kardus nasi liwet Seribu Satu
(anak IPB pasti tahu) yang sengaja disembunyikan di antara semak-semak berduri.
Sialan banget nih orang yang buang. Kagak tahu sopan santun. Mau buang sampah
jangan disembunyiin dong, kan susah ambilnya.
Melihat kami ribet membawanya,
Fahmi menawarkan trash bag-nya.
Berasa sinterklas abal-abal, saya membawa kantong besar itu. Sayangnya isinya
bukan hadiah, tapi sampah. Mudah-mudahan sih bisa jadi hadiah bagi kebersihan
Papandayan ya.
Alhamdulillah ya trek
Papandayan mudah, aksi bersih gunung (semampu kami, nggak bersih-bersih amat
sih) ini nggak menguras tenaga. Lumayan mengisi waktu luang setelah Kak Rahmi
nggak bosan-bosannya memperingatkan, “Nis, jalannya jangan cepet-cepet.” Sambil
menunggu teman-teman yang tertinggal di belakang, bisa memulung sampah sambil
curi-curi istirahat. Saya dan Kak Rahmi memulung hampir setengah trash bag. Kalo dijual ke tukang loak,
udah dapat berapa rupiah tuh? Lumayan kayaknya buat beli nasi goreng.
Boleh lah ya saya persuasif
sedikit di blog saya sendiri. Buat teman-teman pendaki, slogan “Pendaki sejati
tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak” jangan untuk keren-kerenan aja. Just do it. Jejak yang ditinggalkan tuh
ya tapak kaki kita di tanah. Bukannya coretan nama di tebing atau penanda titik
puncak dan sampah. Nah, mumpung trek Papandayan gampang, saya akan sangat
berterima kasih sekali kalo ada Kak Rahmi-Kak Rahmi lain yang mengikuti
aksinya. Apalagi kalo sengaja dibikin pendakian khusus untuk bersih-bersih
gunung. Wah, mantap banget tuh ^^
Pondok Salada
Jalan menuju Pondok Salada
agak sempit, menanjak, dan licin berbatu. Kami harus hati-hati, karena kalo
bengong sedikit, di sebelah kiri jalan sudah menganga jurang yang siap melahap
kami kapan saja. Trek ini juga dilewati pendaki yang menaiki motor gunung. Kalo
mau melipir, cari jalan yang agak lebar, jangan terlalu dekat dengan bibir jurang.
Kalo nggak ada jalan lebar? Ya harus jalan cepat, bahkan lari, sampai menemukan
jalan yang agak lebar.
Fasilitas motor gunung ini
sangat dimanfaatkan oleh romobongan Draco. Pasalnya mereka akan melanjutkan
kemping berisik mereka (maaf nyablak terus) di Pondok Salada. Banyak pengendara
motor gunung yang membawa tenda dan kebutuhan Draco lainnya. Bisa sampai Rp
300.000 ongkosnya. Selama perjalanan, saya harus berbagi jalan dengan motor
gunung. Memang trek menuju Pondok Salada adalah ceruk tanah bekas jalan ban
motor.
Entah jam berapa kami sampai
di halaman luas yang mampu menampung hingga 30an tenda. Yap. Inilah Pondok
Salada. Kami menemukan beberapa pohon edelweiss (eh, edelweiss pohon atau
perdu?). Wah udah bikin senang mata nih. Kami tidak istirahat di Pondok Salada.
Rame nian. Kami keluar dari kawasan Pondok Salada dan menepi di area sebelum
sumber air.
|
Ngaso di Pondok Salada |
Nyemil-nyemil deh. Cokelat
satu-satunya yang saya bawa dihabiskan oleh teman-teman, terutama Fahmi
(gantiin woi). Hiks. Padahal saya belum cobain (yaelah, rasa coklat kan
gitu-gitu aja). Ditawarin gula jawa, comot. Ditawarin minum, comot. Diminta
foto-foto, let’s go! Sementara itu
Kak Ifa dan Kak Rahmi mengisi botol minuman dengan air. Nah, air di sini
manusiawi sekali. Alhamdulillah ya, dapat air segar gratis!
Kami harus melewati sumber air
untuk mencapai Hutan Mati. Dan yeah, harus memutar masuk ke hutan dan nggak
tahu kemana ujungnya kalo mau menghindari basah. Berhubung di antara kami nggak
ada yang tahu jalan memutar, mau nggak mau ya harus nyebur. Byuuuur. Meskipun
ada alang-alang yang bisa ditapaki, kalo salah ambil jalan ya nyeblos juga. Oh
iya, di tengah-tengah jalan air ini banyak beralur pipa air. Hati-hatilah dalam
melangkah, nanti malah mengijak pipa air dan patah. Aduh, sayang banget nanti
yang di bawah nggak kedapatan air. Nggak apa-apa lah nyebur sedikit, biar nggak
mematahkan pipa dan membantu penduduk di bawah dapat air, ocreeee? Toh basah
bisa kering ini kalo dijemur.
Hutan Mati
Tali rapia yang disediakan pengurus
wisata Papandayan sangat membantu saya menjadi penunjuk jalan teman-teman.
Mendaki sebentar keluar dari Pondok Salada, vegetasi cantigi mulai berkurang.
Jalan tanah berganti dengan batu-batu kecil keputihan. Inilah spot yang paling
saya suka: Hutan Mati. Yuhuuuu.
Ya Allah, sumpah tempat ini
keren banget. Sesuai dengan namanya, di Hutan Mati banyak sekali pohon-pohon
yang sudah mati akibat letusan sebelumnya. Yang tersisa hanya batang-batang
yang gosong, warnanya hitam pekat. Hewan yang saya temukan hanya laba-laba.
Tidak sedikit mereka membuat sarang di sana.
|
Hutan Mati: difoto oleh Anggun |
Saya membayangkan dulu di
jalan saya berpijak mengalir lahar dari kawah. Membakar pohon-pohon. Mematikan
semua yang hidup. Pasti seram banget. Namun siapa yang mengira, bertahun-tahun
berikutnya Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati. Cantigi-cantigi
bermunculan. Laba-laba asyik bermain di antara cabang pohon gosong. Sedikit
menoleh ke atas hutan mati, banyak pula pohon cantigi yang sudah tumbuh besar.
Gradasi dari hijaunya hutan menuju hitamnya Hutan Mati membuat hati tersadar,
“Ini kalo bukan karena kekuasaan Allah, nggak akan ada kayak gini.” Antara yang
hidup dan mati tidak ada sekat yang jelas. Indahnya.
Kawasan Hutan Mati ini saya
rekomendasikan menjadi tempat foto pernikahan yang ajib. Hahaha. Lalu
teman-teman saya menambah imajinasi acara pernikahan di Hutan Mati. Haloooo,
itu penghulunya udah pada gempor duluan kali jalan dari kawah, boro-boro sampai
ke Hutan Mati. Hehehe. Eh, tapi boleh juga tuh ^^
|
Mejeng di Hutan Mati: difoto oleh Kak Rahmi |
Foto-foto adalah agenda
penting yang harus dilakukan. Narsis parah nih. Di Hutan Mati ini ada danau
kecil di dekat bibir kawah. Pengen banget foto di sana. Namun, Tegal Alun sudah
lama setia menunggu kami. Mudah-mudahan ketika pulang nanti bisa mampir ke
sana.
Tegal Alun
“Nis, jaga jarak, Nis.”
Suara Kak Ifa sayup-sayup
terdengar dari belakang. Saya memperlambat kecepatan. Coki-coki dari Anggun
masih nangkring di mulut. Nggak kebagian Silverqueen, Coki-coki pun jadi. Jalan
yang terus menanjak mulai menyusahkan kami. Keringat mengalir dari balik
kerudung.
“Nis, di depan udah Tegal Alun
belum?”
“Belum belum. Bentar lagi.”
Bentar lagi? Padahal saya juga
belum pernah kesini. Mana saya tahu Tegal Alun sudah dekat atau tidak. Sempat
saya berpikir, “Apa gue salah jalan, ya? Kok nggak nyampe-nyampe?” Tenang, Nis.
Itu sugesti doang. Ikuti saja terus tali rapianya. Just enjoy it. Kata ‘bentar lagi’ saya harapkan bisa menumbuhkan
optimisme teman-teman yang mulai kelelahan. Ayo jalan terus. Istirahatnya nanti
aja dipuas-puasin di Tegal Alun.
Rasa khawatir tersasar hilang
begitu saja ketika saya melihat papan nama bertuliskan Tegal Alun. Saya teriak
sambil berlari menyerbu padang edelweiss itu.
“Mak, Tegal Alun, Maaaaaak!”
“HAHAHAHAHAHA.”
Eh, siapa itu yang ketawa?
Teman-teman saya, kan masih di belakang. Jangan-jangan ada makhluk halus yang
menertawai tingkah norak saya. Ternyata eh ternyata, ada rombongan pendaki lain
yang lagi nge-camp di Tegal Alun.
Aduh, malu boooo. Saya kira nggak ada orang lain. Langsung saya membalikkan
badan.
“Malu banget lo, Nis,” ejek
Kak Rahmi.
“Banget, Kaaaaak. Kalian jalan
duluan aja. Gue di belakang,” ujar saya mencari perlindungan.
Udah. Malunya disimpan di trash bag aja. Waktunya foto-foto, cui!
|
Di Antara Edelweiss: difoto oleh Anggun |
Kalo edelweiss di Pondok
Salada biasa aja. Edelweiss di Tegal Alun itu luaaaarrr biasaaa. Jadi ingat
Surya Kencana di Gede, nih. Berhektar-hektar edelweiss tumbuh sangat rimbun.
Menyembul di antara rerumputan kecil. Sayang sekali bunganya sedang tidak
mekar. “Belum musimnya, nanti Juli pada mekar,” jelas Kak Ifa.
Kak Sule mengobrol dengan
pendaki lain yang berhasil menyergap kebodohan saya. Mereka nekat banget
kemping di Tegal Alun. Padahal kan dilarang. Di Tegal Alun itu masih banyak
berkeliaran babi hutan dan macam putih. Hiiiii, serem.
Fahmi dan Kak Ifa mencari
jalan menuju puncak. Sisanya, termasuk saya, beraksi bak foto model yang nyasar
ke gunung. Hohoho. Sebagai pendaki, sebaiknya jangan mengambil apapun kecuali
gambar alias foto. Yo wes, jepret sana jepret sini deh.
|
Grab the Sky |
|
Bersama Anggun: difoto oleh self timer haha |
Lagi asyik bergaya, tiba-tiba
Kak Ifa dan Fahmi berlari menghampiri kami. Meminjam kata Kak Sule, mereka
lari-lari seperti di film India. Hahaha. Setelah mencari jalan menuju puncak,
mereka menyarankan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak.
“Ada jejak binatang gitu.
Mungkin babi atau macan,” Fahmi memucat ngos-ngosan.
“Lagi pula kabut tebal
banget,” sambung Kak Ifa.
“Ya sudah nggak usah ke
puncak. Foto-foto aja di sini,” ajak saya. Tetep ya booo, foto-foto is numero
uno hehe.
|
Menjemur??? |
Lihat foto di atas? Aduh parah
banget memang kelakuan Fahmi dan Kak Sule. Masa menjemur kaos kaki di atas
edelweiss gitu. Kan kasihan bunganya kebauan. Nanti malah nggak mekar lagi.
Jangan diikutin ya kawan-kawan hehehe.
Setelah puas foto-foto, kami
berpamitan dengan rombongan yang nge-camp
di Tegal Alun. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Puncak Papandayan tidak
terjajaki. Nggak apa-apa, Nis. Lain kali bawa keluarga sampai puncak ya. Aamiin
ya Allah, mohon diizinkan. Aktivitas mendaki langsung turun ini dikenal dengan
nama tek tok. Lucu ya?
Perjalanan Pulang
Turun gunung melalui jalan
yang sama mampu memberikan nuansa yang berbeda. Bahkan lebih mencekam. Jeng
jeng jeng. Kepercayaan terhadap orang lain sangat diuji dalam perjalanan pulang
kami.
Kini giliran Fahmi yang berada
di belakang saya. Dia mengajak turun gunung smabil lari. Oke, saya terima
tantangannya. Anggun sudah mencak-mencak melihat saya nggak sabaran setiap kali
berjalan. Maaf ya, Nggun hahaha. Jitak aja nih kepala saya.
Saya dan Fahmi sampai di Hutan
Mati duluan.
“Kesitu dulu yuk, Nis.”
Kesitu dulu maksud Fahmi
adalah bibir kawah yang dekat dengan danau di Hutan Mati. Maaak, itu kan tempat
saya pengen foto-foto tadi. Siiipp. Sambil menunggu teman-teman, kami melipir
dulu ke sana. Eh, ternyata yang lain menyusul dan ikutan foto-foto.
|
Berpose di Bibir Kawah: difoto oleh Fahmi |
Saya baru tahu kalo Fahmi
punya fobia terhadap ketinggian. Saya juga takut ketinggian, tapi nggak separah
Fahmi. Tukang naik gunung ini bisa langsung gemetaran dan jantungnya berdetak
kencang. Dan itulah yang terjadi saat kami berada di bibir kawah. Saya
memperingatkan, “Udah deh, Mi. Lo jangan tinggi-tinggi naiknya, ntar gue yang
repot kalo lo kenapa-napa.”
|
Di Tepi Danau Hutan Mati: difoto oleh Kak Rahmi |
Ketika lagi heboh foto-foto di
pinggir danau, Fahmi mengajak kami cepat-cepat turun. Kak Ifa mengiyakan.
Untung saya dan Kak Rahmi kebagian foto di danau. Kasihan yang lain belum
sempat foto. Hehehe nggak penting juga sih.
Ada yang aneh dengan Fahmi.
Dia begitu mendadak buru-buru menyuruh kami turun. Ketika sudah sampai di
tenda, Fahmi baru memberi tahu kalo dia digangguin. Dia memang suka dilihatin
gitu kalo naik gunung. Aduh rada-rada horor nih.
Seperti sebelumnya,
teman-teman mengikuti saya menyusuri jalan. Perasaan buruk mulai hinggap di
pikiran saya. Ini jalannya ke arah mana? Tali rapianya mana? Saya mengikuti
tali rapia, eh ujung-ujungnya jalan buntu. Kami diajak muter-muter aja sama
tali rapia. Jalan yang saya ambil nggak menunjukkan kami menuju Pondok Salada.
“Ini jalannya bener nggak,
sih?” Suara-suara di belakang mulai menurunkan optimisme saya.
Mampus gue, bikin nyasar anak orang! Pikir saya.
“Gara-gara Fahmi sih nih,
ngajakin kita kesini dulu.”
“Nyasar deh kita.”
“Nggak kok, ini jalannya
benar. Tuh dengar aja ada suara toa dari Pondok Salada. Kayaknya itu rombongan
Draco, deh.” Saya mencoba mencairkan suasana. Mencairkan perasaan saya sendiri
lebih tepatnya. Kami mulai saling menyalahkan. Ini nggak bagus buat kita. Ayo
jalan terus, Nis. Cari tali rapia yang benar!
Waktu itu Fahmi dan saya
terpecah mencari rute pulang. Di Hutan Mati yang terlihat hanya pohon gosong.
Harus lewat mana, nih? Saya berprasangka buruk. Kalo saya mati di sini, gimana?
Saya belum lulus kuliah. Saya belum menikah. Ya Allah, tolooong. Ampun deh kalo
saya suka sombong.
Pertolongan Allah itu dekat,
cui. Baru aja minta tolong, eh saya lihat dua pendaki di ujung mata. Saya
kedap-kedip, “Itu beneran orang, kan?” Tanpa peduli teman-teman di belakang,
saya berlari menuju kedua pendaki itu. Capek juga mendaki sambil berlari, bawa
carrier pula.
“Pak, pak, Pondok Salada ke
arah mana, Pak?” teriak saya mencoba menghentikan langkah mereka. Berkali-kali
saya teriak. Napas sudah habis. Akhirnya mereka menoleh dan menunjukkan jalan
yang benar.
Tidak lupa berterima kasih,
kami melanjutkan perjalanan. Saya melihat ke belakang. Kayaknya kalo dilihat
dari atas, dari tadi kami hanya berjalan disitu-situ aja, deh. Tapi perasaan
saya sudah berjalan jauh banget. Mungkin inilah rasanya kalo prasangka buruk
hadir dalam pikiran. Semuanya jadi sulit dan pesimistis. Astaghfirullah. Apa
mungkin ini kerjaan yang mengganggu Fahmi tadi, ya? Hush hush, pergi kau
tablish iblis!
Akhirnya kami keluar dari
Hutan Mati. Di Pondok Salada kami istirahat sebentar lalu segera berjalan
menuju kawah. Kabut semakin tebal. Awan mengabarkan akan turun hujan.
Menyebrang kawah ketika berkabut sangat tidak dianjurkan. Kami mengejar waktu
sebelum hujan.
Berjalan pulang melewati kawah
membuat saya was-was. Saya ingin cepat-cepat sampai parkiran. Masalahnya kami
belum sholat. Nggak tenang banget. Saya menuruni kawah hampir berlari. Pas
menoleh ke belakang, ternyata teman-teman masih jauh sekali di belakang. Waduh.
Mana kabut tebal banget di depan. Bau belerang makin menyengat. Suara blubuk
air mendidih menakut-nakuti. Saya berjalan sendirian dan ini membuat saya takut
meskipun saya yakin saya nggak nyasar. Kenangan buruk ketika pendakian ke Salak
terputar kembali. Saya pernah pingsan di Kawah Ratu. Saya sendirian sekarang.
Nggak mau pingsan lagi di Kawah Papandayan. Dengan langkah cepat saya kembali
ke atas menyusul teman-teman. “Ayo buruan turun.”
Plis, Nis. Kamu tuh jangan
suka ninggalin teman. Tiap orang kan punya kecepatan masing-masing.
Kawah sepi sekian lama. Namun
akhirnya saya melihat pendaki lain yang baru mau naik. Alhamdulillah,
ngobrol-ngobrol bentar sambil menunggu rombongan.
“Sendirian aja, Mbak?” tanya
seorang pendaki.
“Nggak, Mas. Itu rombongan
saya di belakang.”
“Oh.”
Menoleh lagi ke belakang,
teman-teman tidak terlihat. Hahaha, berasa turun gunung sendirian. Lagian itu
mas-masnya oh-oh aja, nggak ada orang juga. Yang paling keren itu saya bertemu
satu keluarga yang juga baru mau naik. Dari anak kecil sampai neneknya lengkap.
Aiiih, lucunya.
“Wah, satu keluarga, Bu?”
“Iya.”
“Mau ke puncak, Pak?”
“Nggak, semampunya aja.”
“Semangat, ya, Dek.”
Akhirnya saya sampai di
parkiran. Teman-teman masih di belakang. Tapi ini nggak bikin takut. Setidaknya
saya melihat peradaban hehe. Enaknya jalan duluan itu kita jadi punya waktu
lebih banyak untuk istirahat.
Oke, langit semakin menua.
Kami para wanita membuat makan malam. Saya dan Kak Rahmi memasak tempe yang
mulai bau. Udahlah dimasak aja. Kalo sakit perut, toilet dekat ini hehe. Yang
lain masak nasi dan lauk lainnya.
Malam kedua saya di Papandayan
seru sekali. Langit waktu itu kembali terang. Bintang berserakan sesukanya. Kak
Sule dengan ponsel canggihnya memperkenalkan saya aplikasi yang bagus untuk
tahu nama-nama bintang. Saya jadi tahu dimana posisi bintang Sirius, bagaimana
nelayan zaman dulu menentukan arah berlayar dengan melihat rasi bintang, dan
jadi paham kalo bintang Vega ada di belahan bumi lain. Nggak akan kelihatan di
Indonesia kalo malam-malam. Cantiknyooo. Sebagai lulusan GFM, Fahmi menjelaskan
fenomena Aurora dan menjawab pertanyaan saya, “Kenapa ada pelangi kembar?
Kenapa pelangi cuman setengah lingkaran? Tapi kok ada juga pelangi yang
lingkaran penuh?” Alhamdulillah ya, pengetahuan saya bertambah walaupun
sekarang udah rada-rada lupa hehehe. Iya, nggak, Kak Rahmi?
Waktunya
tidur. Besok harus kembali ke Bogor. Eh mau mampir dulu beli Chocodot deh.
Dimana itu? Keep reading ^^