Menunggu adalah aktivitas yang menjemukan,
menjengkelkan, juga menyenangkan. Menunggu bisa jadi penguji keteguhan kita
dalam mendapatkan sesuatu. Apakah kita bisa sabar demi hasil yang diinginkan
atau menyerah dan tidak mendapatkan apa-apa?
Saya terbiasa hidup menunggu. Sejak SMP
saya sering menunggu jemputan sepeda Mama di kemang sepulang saya sekolah
hampir 1 jam. Maklum perjalanan dari jalan raya ke rumah sangat jauh. Tidak ada
angkutan umum. Naik ojek pun mahal. Kalau aktivitas menunggu saat ini bisa
lebih tidak menjemukan karena ada teknologi HP. Kita bisa sms’an atau masuk ke
jejaring sosial selama menunggu. Namun menunggu saat SMP dulu saya belum boleh pegang
HP. Alhasil saya harus punya kesibukan lain supaya menunggu tidak menciptakan
amarah kepada Mama yang susah payah bersepeda dan harus menggonceng saya ke
rumah.
Kesibukan apa itu? Membaca buku. Hahaha
sok banget masih SMP kerjannya baca buku. Keren kan saya? Eh tapi baca bukunya
buku komik deh, hasil pinjam dari gerai buku dekat sekolah. One piece,
Detective Conan, dan komik basket I’ll adalah bacaan wajib. Tapi sekarang sudah
tidak lagi. Serial pembajak laut dan detektif yang tidak ada akhirnya itu membuat
saya bosan juga untuk meneruskan membaca komik. Kebiasaan membaca buku saat
menunggu itu terbawa sampai sekarang. Bahkan saya mempersiapkan buku dulu sebelum
bepergian yang akan mempertemukan saya dengan proses menunggu.
Dua hari terakhir, kemacetan Bogor sedang
menguji kesabaran saya. Biasanya pergi ke tempat tertentu hanya butuh setengah
jam, eh ini satu setengah jam masih belum sampai tujuan. Untungnya pasokan buku
baru lagi banyak banget. Yeah, you know
lah, buku baru itu pun menjejali tas punggung saya. Perjalanan saya ke toko
Kataraft kemarin siang mampu membuat saya menghabiskan satu majalah Getaway!
(ini majalah recommended banget buat
kamu yang demen travelling, kamu juga
bisa menulis catatan perjalanan kamu di majalah itu ^^) dan setengah buku
Habits-nya Ustad Felix. Ampun dah, saking lamanya macet yang menghadang itu
-_____-
Menunggu tidak hanya dilakukan saat kita
berada dalam kemacetan. Menanti gaji di awal bulan, menunggu sayur sop matang,
menunggu yang dirindukan merantau di ranah seberang, menunggu hasil revisi
skripsi dosen pembimbing (*curhat*), menunggu cucian kering, semuanya menunggu.
Hidup kita juga menunggu. Menunggu waktu kita mati. Menunggu di alam kubur.
Menunggu saat hari penimbangan amal. Semua menunggu. Menunggu mengantarkan kita
kepada hasil, baik itu yang diinginkan atau di luar ekspektasi. Sekali lagi,
menunggu mengantarkan kita kepada hasil. Yang memberikan apakah hasil yang kita
dapat sekedar tujuan atau ada hasil lain (pelajaran hidup misalnya) adalah
proses kita mengisi jeda ketika menunggu. Ini ribet banget ya bahasanya?
Hahaha. Ibaratnya gini, saya menunggu macet sambil membaca buku, maka saya
tidak hanya akan sampai ke tujuan tapi juga mendapatkan pelajaran dari buku
yang saya baca. Nah gitu ^^
Mengantar Ayah check up ke rumah sakit kemarin malam juga menyajikan proses
menunggu yang harus saya telan habis. Pasalnya Ayah dapat nomor antrian 50,
sedangkan pasien yang baru masuk itu urutan 9. Masih harus menunggu 40 orang
lagi. “Mungkin jam dua belas, Pak masuknya.” Dan jam di ponsel masih
menunjukkan pukul 08.32. Petugas administrasi menawarkan kami untuk pulang ke
rumah dulu. Dengan pertimbangan rumah yang sangat jauh dari pusat kota, akhirnya
Ayah mengetok palu untuk menunggu saja.
Rumah sakit ramai sekali. “Maklum hari
Senin,” kata Ayah. Saya tidak paham hubungannya hari Senin dengan penuhnya
rumah sakit. Mungkin banyak orang sakit di hari Senin. Hahaha ngaco. Karena
ramai, hampir tidak ada bangku kosong untuk diduduki. Menunggu lama sambil
berdiri adalah keputusan yang salah. Saya meminta menunggu di mushola, Ayah
memutuskan menunggu di depan Ruang Persalinan.
“Ayah mau baca?” Malam itu saya sengaja
bawa dua buku, biar masing-masing kami punya bacaan selama menunggu. Namun Ayah
memilih merebahkan badannya di sofa panjang. Saya tenggelam dalam lembaran
Habits yang belum saya selesaikan.
Satu jam pertama, membaca adalah kegiatan
yang menyenangkan. Tapi lama-lama bosan juga. Mata mulai mengantuk. Antrian
poliklinik masih di angka belasan. Ayah berjalan-jalan sekitar rumah sakit.
Saya menggantikan posisi Ayah sejam yang lalu: rebahan di sofa panjang depan
Ruang Persalinan. Malu tidak ada dalam kamus saya kalau saya sudah mengantuk
berat. Maklum seharian tadi banyak mengeluarkan peluh. Tanpa malu, saya
selonjoran dan akhirnya tertidur entah berapa lama. Dasar kebo -_____-
Bising putaran roda kereta bayi
membangunkan saya. Pintu Ruang Persalinan dibuka.
“Itu ada bayinya?” Ini bunyi lain dari
mulut seorang ibu di samping saya. Eh ini ibu kapan datangnya?
Masih dengan mata setengah saya
mengangguk. “Kayaknya bu, itu selimutnya bergerak.”
“Nggak keliatan ya.”
“Iya, bayinya kecil banget.”
Saya teringat pada diri saya sendiri.
Sebelum sebesar sekarang, dulu saya juga sekecil adik bayi itu. Kuasa Allah
Sang Maha Pencipta lah yang membuat saya menjadi seperti ini kini. Dari
telunjuk saya yang lebih pendek dibandingkan dengan tutup pulpen hingga sepanjang
sekarang, apa saja yang telah saya lakukan? Apakah hal baik? Atau hanya
main-main saja? Tidak lama saya mengetahui bahwa adik bayi yang baru lahir itu
memiliki gangguan pada paru-parunya. Kasihan. Baru juga menikmati hawa bumi, ia
sudah memiliki kelainan. Beruntunglah saya memiliki paru-paru yang hingga saat
ini tanpa cacat. Alhamdulillah.
Suasana perenungan yang tiba-tiba itu membuat
saya tidak mengantuk lagi. Mengobrol dengan ibu sebelah memberikan rasa baru
ketika saya menunggu.
“Lagi nunggu persalinan, Dek?” tanya ibu
mengawali perenungan lain malam itu.
“Nggak bu, lagi nunggu Ayah check up.
Dapat urutan terakhir. Masih lama banget.”
“Oh, emang biasanya lama ya?”
“Iya, bisa sampai tengah malam. Ibu nunggu
persalinan?”
“Iya, anak saya yang melahirkan. Anak
pertama cucu pertama.”
“Kenapa nggak nunggu di dalam aja bu?”
“Ada suaminya di dalam. Ibu mah nggak tega
lihat anak jerit-jerit.” Beliau mengelus dada.
Ada kekhawatiran seorang ibu menunggu
nyawa anaknya di ujung persimpangan: antara bertahan hidup atau akan berakhir
jihad. Yap. Jihadnya seorang perempuan adalah bertemu Allah saat melahirkan
anak, insya Allah. Kini, menunggu tidak lagi menjemukan atau menyenangkan,
tetapi menyakitkan. Sang ibu berdiri, mondar-mandir sepanjang Ruang Persalinan,
mengintip dari celah tirai pintu, berharap ada kabar baik dari putrinya.
“Anaknya umur berapa bu?”
“Dua puluh dua.”
Saya melongo. Lho, seumuran saya. Udah
menikah? Udah hamil pula? Jagoaaaan. “Wah, keren banget, bu.”
Beliau bingung. Keren dari mananya, Nis?
Ya keren lah. Di saat remaja lain memilih untuk berhubungan berasaskan napsu
sesaat, putrinya memiliki hubungan berdasarkan keimanan. Subhanallah.
“Ya kalau anaknya siap masa mau
ditunda-tunda?”
Saya mengangguk. “Kuat berarti anak ibu
ya. Masih dua dua sudah harus melahirkan. Kan sakit bu.” Saya mengelus perut.
Agak lapar memang -____-
“Makanya ibu nggak tega ke dalam. Udah
pernah ngerasain soalnya. Bapaknya mah tenang-tenang aja dari tadi. Laki-laki
mana tahu rasanya melahirkan. Dapatnya enak doang, bisa gendong gendong.”
Saya tertawa. Juga miris sih mengingat
seorang anak kecil pernah diantar ke rumah saya karena ditinggal bapaknya kabur.
Apalagi angka bapak kabur tidak bertanggung jawab di Indonesia juga tidak
rendah. Aduh itu laki-laki hatinya batu apa ya? Nggak bisa merasakan sakitnya
melahirkan. Nggak bisa mensyukuri seorang anak lahir dari perbuatannya. Pakai
kabur segala. Saya getok nih pake palu!
Lama sekali kami mengobrol. Belum ada
tanda-tanda makhluk Allah lain akan menghuni bumi-Nya.
“Memang jadwalnya sekarang bu?”
“Iya katanya sih jam sebelas malam. Tapi
sampai sekarang belum keluar.”
“Hasil USG-nya laki-laki atau perempuan
bu?”
“Perempuan. Tapi kan kita nggak tahu kuasa
Allah gimana.”
“Iya yang mana aja juga berkah bu.”
Obrolan kami ngalor ngidul dari keputusan
sang anak melahirkan normal dan tidak disesar, hingga ke perkuliahan dan dunia
kerja. Hingga akhirnya seorang suster membuka pintu Ruang Persalinan. Sang ibu
langsung menghampiri suster.
“Bagaimana, sus?”
“Bentar lagi bu. Sabar.”
Suster meloyor ke lelaki yang baru duduk
di sebelah saya. Sepertinya lelaki itu pacar atau suaminya. Suster malah
mengurusi lelaki itu mencari colokan listrik karena HP-nya mati. Aduh suster,
itu ibu dari tadi nungguin cucunya, eh malah ngurusin HP. Ya seperti kata
suster, kita harus sabar.
Tepat tengah malam, di saat manusia lain
tidur terlelap atau pemuda-pemudi merasakan hingar bingar harum wiski sebuah
klub malam, seorang manusia lain siap menjadi khalifah di bumi. Tangis seorang
perempuan mungil membunuh kekhawatiran seorang nenek dengan bahagia yang tak
berbilang jumlahnya.
“Alhamdulillah!” Teriak ibu di sebelah
saya lega. Tangannya gemetaran mengambil ponsel menghubungi suaminya. “Pak,
cucu pertama lahir!” Saya tidak bisa berkata-kata. Mata saya perlahan basah.
Saya memang tidak tahu bahkan nama ibu di sebelah saya, namun menjadi orang
pertama yang tahu cucunya lahir menciptakan haru tersendiri buat saya. Menunggu
yang menyakitkan akhirnya berubah menjadi menyenangkan. Calon nenek yang
menjadi nenek sungguhan itu masuk bersama suaminya. Ia meninggalkan saya yang
berucap, “Semoga anaknya berkah ya bu.”
Saya sendiri. Menunggu lagi. Ayah yang
entah keberadaannya dimana akhirnya mengajak makan malam di luar rumah sakit.
Nasi goreng jawa lah menghapus rasa lapar yang mengenyangkan. Kami menunggu
nasi matang. Dengan bahasa Jawa yang masih kental, Ayah berbincang dengan
kokinya. Seketika saya lupa kalau saya berada di tanah Sunda.
Kami kira antrian pasien mendekati urutan
akhir. Ternyata salah. Bingung mau melakukan apa, akhirnya televisi rumah sakit
menjadi teman setia kami menunggu dipanggil suster. MNCTV sedang menyiarkan
ulang pertandingan bulu tangkis dunia. Ikut dalam ketegangan final itu saya,
Ayah, beberapa pasien, dan petugas kebersihan rumah sakit. Ketika menyaksikan
Indonesia dalam kancah dunia, title
yang kami punya tidak begitu penting. Petugas kebersihan asyik mengomentari
jalannya pertandingan bersama pemimpin perusahaan yang sedang menunggu antrian
pasien. Siapapun kita, kita membicarakan hal yang sama: kemenangan Indonesia ^^
Pukul 00.40an Ayah baru masuk Ruang
Penyakit Dalam. Dokter yang sama setiap kali check up. Tapi kali ini tampilan
dokter itu terlihat beda. Mungkin karena rambutnya yang dipotong pendek.
Terakhir kali saya mengantar Ayah check up, rambutnya masih gondrong, mukanya
penuh berewok. Lebih mirip penjahat daripada dokter, apalagi dengan postur
tubuhnya yang tinggi besar. Kini, ia lebih cerah dan ceria. Padahal hari sudah
berganti, malam mendekati pagi, dan dari tadi pasien tidak berhenti berobat
dengan beliau, mengungkapkan keluhan kesehatan mereka. Ia mengumpulkan
keluhan-keluhan dan memberi resep dengan senyum mengembang. Menjadikan pasien
optimis bahwa penyakit seberat apapun yang diderita, pasti bisa disembuhkan. Hhmm,
dokter ini selalu punya cara membuat orang terkagum dengannya, begitu
profesional.
Tidak sampai lima menit konsultasi Ayah
selesai. Saya terbengong. Hanya demi lima menit, kami harus menunggu hampir
lima jam. “Aku pengen gigit orang,” kataku keluar ruangan. Ayah tertawa,
“Sekarang kita harus mengantri obat.” Saya menepuk muka bantal saya. Kasur mana
kasur?
Giliran Ayah yang tidur lagi di sofa. Saya
harus mengurus biaya check up dan mengantri di apotek. Orang yang menunggu
tidak begitu banyak, namun membutuhkan jeda lebih dari setengah jam untuk saya
mendapatkan obat Ayah. Sambil menunggu, saya mengobrol dengan ibu berpasmina
hitam di samping saya. Beliau sering membetulkan pasminanya agar rambutnya
tertutup sempurna, hal yang tidak perlu saya lakukan kalau memakai kerudung
bergo. Hidup bergo ^^
“Siapa yang sakit, bu?”
“Ibu saya. Ginjal. Dari gulanya.”
“Oohh.”
“Gula memang bisa menyerang kemana-mana,
Mbak. Seram.”
Itu yang saya takutkan dengan kesehatan
Ayah. “Ayah saya kena sampai mata, bu. Plusnya jadi bertambah 6.”
“Itu masih mending, kakak saya bahkan
matanya buta sebelah. Sekarang sudah tidak ada.”
Angin malam juga kabar dari ibu membuat
saya merinding. Hal-hal negatif mengisi pikiran saya.
“Obatnya banyak banget.” Lalu ibu
menunjukkan bon obat yang baru ia tebus setengahnya. Satu juta sekian.
Seharusnya ia menebus semua obat yang mencapai dua juta lebih. Astaghfirullah
mahal banget. Harus jaga kesehatan nih. Jangan sampai sakit, biayanya mahal.
Emang uang tinggal metik di kebon? Ia menambahkan, “Kata Dokter XXXX ada alat
untuk memecah makanan sehingga tidak menumpuk di ginjal, harganya 800. Itu yang
sekali pakai seumur hidup. Ada yang lebih murah, 36, tapi harus diganti tiap
tiga bulan.”
“Tiga puluh enam ribu, bu? Murah tuh.”
“Ih si Mbak, mana ada alat ribuan gitu,
jutaan Mbak, 36 juta, 800 juta.”
“Haaaaa.” Ya Allah, duit dari mana segitu
banyaknya?
“Makanya kita coba pakai obat aja. Cuci
darah juga. Itu aja bikin ngos-ngosan.”
“Nggak coba cara tradisional, bu?”
“Aduh, ibu nggak percaya. Takut. Kalo di
rumah sakit kan ada ilmiahnya.”
Saya mengangguk saja. Beliau melanjutkan
riwayat keluarganya. Bapaknya ternyata pemilik pesantren ZZZZ. Banyak
saudara kandung dan bapaknya menderita penyakit gula dan berakhir dengan
kematian. Saya meneguk ludah. Pagi buta begini membicarakan kematian bikin saya
ingat dosa-dosa yang saya buat. Namun, kematian mereka selalu berakhir indah.
Ada yang baru selesai umroh, bahkan belum sempat mengobrol dengan ibu, sudah
dipanggil Allah. Ada yang meninggal di pangkuan istrinya. Ada yang baru mau
sholat Shubuh ternyata tidak bisa bangun lagi dari duduknya. Bahkan ada yang
meninggal ketika bersujud sholat Ashar. Waaaah, subhanallah banget!
“Indah banget, bu!”
“Iya. Nggak tahu deh nanti ibu
meninggalnya gimana. Maunya sih ya seperti mereka.”
Setuju!
“Kata bapak saya, harus sering baca doa
selamat, minimal tiga kali setelah sholat, atau minimal baca satu ayat Al
Qur’an tiap hari.”
Catet tuh catet ^^
Saya lupa kenapa tapi akhirnya kami
membicarakan Dokter XXXX, dokter langganan Ayah dan ternyata juga langganan
keluarga ibu itu. “Dia kan mualaf.”
Saya bengong. Yeah, malam ini saya banyak bengong.
Atuh da banyak banget yang mengejutkan saya. Menunggu ternyata mempertemukan
saya dengan hal-hal di luar kemampuan.
“Lho, bukannya Kristen, bu?”
“Dulu. Belum lama ini masuk Islam.”
“Alhamdulillah.”
Obat yang ditunggu sudah di tangan. Pukul
01.30 saya dan Ayah keluar rumah sakit. Bogor tengah malam begitu menenangkan
dan sepi. Ayah membawa ngebut motor kami. “Jangan tidur, Kak,” himbaunya. Saya
menguatkan pegangan. “Yah, Dokter XXXX sudah mualaf.” Saya tidak mendengar
tanggapannya. Mungkin suara saya kalah dengan deru knalpot yang kencang.
Sepanjang perjalanan saya memikirkan bagaimana Dokter XXXX bisa terbuka
hatinya. Siapa lagi kalau bukan karena Allah SWT, Sang Pembolak-balik hati.
Nama lengkapnya dr. XXXX YYYY, spPD.
Sebelum beliau mualaf pun sebenarnya beliau sudah menunjukkan kepada pasiennya,
termasuk Ayah, tentang kebenaran Islam, terutama cara hidup Rasulullah SAW yang
sangat berhubungan erat dengan gaya hidup sehat. Di awal Ayah check up dengan
beliau, bukannya menyarankan untuk meminum obat tepat waktu, beliau malah berkata,
“Obat memang penting bagi orang sakit. Tapi yang penting bagaimana kita menahan
napsu. Gula itu enak, tapi haram buat orang yang sakit gula, ya Pak. Cara makan
Muhammad itu baik. Ikuti cara dia saja. Sepertiga perut kita harus diisi dengan
makanan, lalu cairan, dan sisanya udara. Makan secukupnya saja. Bahkan lebih
baik lagi kalau Bapak rajin puasa senin-kamis. Mudah-mudahan gulanya
terkontrol.”
Waktu itu saya
terkejut. Kristen taat seperti beliau bahkan memberi rekomendasi dari gaya
hidup sehat Rasulullah dan kutipan ayat Al Qur’an. Subhanallah. Dari beliau lah
saya semakin yakin bahwa Islam itu benar, apalagi setelah tahu beliau akhirnya
mengakui Allah SWT sebagai tuhan yang Esa dan yang patut disembah. Allahu
Akbar! Menunggu kadang menjemukan, kadang mengasyikan, kadang memberi banyak
hikmah kehidupan bagi kita. Yang membedakan rasa yang akan kita dapatkan saat
menunggu itu ya tergantung kita mengisi jeda dengan cara yang bagaimana ^^