Jasadku berkeliaran dimana-mana tapi tidak dengan jiwaku. Ia mendekam
di satu kotak bernama rindu. Menunggu-nunggu dimana-mana itu bisa berubah
menjadi rumah, tempat dimana aku merasa tenang bahkan ketika diganggu
sekalipun.
Njani menghentikan tulisannya
sementara Payung Teduh mulai mengalun rendah, menjadi satu-satunya suara yang
setia menemani detak tuts laptop ketika huruf-huruf menari di layar laptop. Secangkir
kopi diam saja mendingin sejak sepuluh menit ia diseduh namun tak disentuh. Ia mau
sekali mengajaknya bicara, namun kata bagi cangkir kopi tak akan mampu
meluluhkan pemiliknya. “Wanita itu sedang gundah. Ia butuh sunyi,” bisiknya
pada sendok tembaga.
Tak ada sore. Dan udara
menjadi segar. Tak ada gelap. Lalu mata enggan menatap. Tak ada bintang mati. Butiran
pasir terbang ke langit. Tak ada fajar. Hanya remang malam semua tlah hilang. Terserah
matahari.
Lalu lalang manusia di luar
jendela memenjara penglihatan Njani. “Tidakkah mereka merasakannya? Atau mungkin
pernah dan sekarang sudah tidak lagi? Bagaimana cara menghilangkan perasaan
ini?” lirihnya pada sela tirai yang tersibak angin.
Bagaimana kalau yang kulakukan selama ini adalah karena komitmen, bukan
karena cinta? Seperti katamu malam itu, komitmen tidak lebih tinggi derajatnya
dari cinta. Komitmen bersifat memaksa. Cinta tidak. Bahkan dengan cinta,
perasaan membutuhkan itu ada.
Harum mawar membunuh bulan. Rahasia
tetap diam tak terucap. Untuk itu semua aku mencarimu. Berikan tanganmu. Jabat jemariku.
Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu. Berikan suaramu pada semua bisikanmu
memanggil namaku.
“Hai cangkir kopi? Apa karena
komitmen kamu rela menahan sakit air panas mengisi perutmu? Atau karena cinta? Panas
itu pada akhirnya menjadi kebutuhanmu, bukan sesuatu yang memaksa engkau
bertahan. Begitukah?”
Sendok tembaga berdenting,
menyadarkan cangkir kopi bahwa ia dihiraukan. Hadirnya selama ini dianggap ada.
“Apa yang harus kita lakukan, cangkir?”
“Kita tunggu beberapa menit
lagi sendok. Kurasa wanita itu akan menemukan jawabannya sendiri.”
Njani, sendok tembaga dan cangkir
kopi termenung. Tenggelam dalam kolam pikiran masing-masing. Payung Teduh
mencapai klimaksnya.
Atau kau ingin aku berteriak
sekencang-kencangnya agar seluruh ruangan ini bergetar oleh suaramu.
Orang-orang bicara tentang manfaat dan guna. Tapi kurasa, manfaat itu
palsu jika aku sendiri tidak merasakannya. Jadi, untuk apa semua ini? Sombongkah
aku ketika merasa aku tidak membutuhkan ini semua?
“Hai sendok tembaga, apa kau
punya mata? Bisakah kamu melihat awan-awan itu? Bagaimana rasanya berarak
kesana-kemari menurut pada angin sedang mungkin saja ada tempat yang ingin
disitu saja ia teduhkan? Pernahkah awan merasa tidak perlu bepergian karena di
tempatnya ia berasal sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan jiwanya?”
“Mereka pernah merasakan itu,
Njani. Tapi mereka terus berarak kemana angin mau. Ini bukan tentang diri
mereka sendiri melainkan orang lain. Tahukah kamu mengapa begitu? Karena bisa
saja dengan lebih memenuhi kebutuhan orang lain, mereka lebih mengetahui
kebutuhan diri sendiri. Belum tahukah kamu rahasia semesta ini?” Sendok tembaga
berceloteh. Namun hanya dentingnya pada cangkir kopi yang terdengar oleh Njani.
Bahasa yang berbeda. Ketika berbicara
dengan bahasa berbeda, sekeras apapun sendok tembaga dan cangkir kopi berusaha
dimengerti Njani, tetap tak terdengar apapun. Butuh kuasa Maha Komunikasi untuk
menyampaikannya.
Mungkin ini juga yang sedang
melanda jiwa Njani. Bahasa Tuhan yang terkata oleh segala peristiwa yang
terjadi selama ini belum sampai pada hatinya. Sebenarnya apa yang Tuhan
inginkan pada diri Njani?
“Hai cangkir dan sendok,
barusan aku bertanya apa? Sombongkah aku ketika merasa aku tidak membutuhkan
ini semua?”
Njani mendengus panjang,
mengalihkan pandangannya pada air coklat yang mulai memudar di dalam
cangkirnya. Njani memutar sendok tembaga, mengaduk bubuk kopi yang mengendap di
dasar cangkir, membuat airnya kembali menua. “Memang aku tahu apa tentang
diriku?” Kalimat terakhirnya sebelum ia menyesap habis sarapan paginya.
Di luar langit mulai mendung.
Njani segera beranjak dari ruangannya. Kembali
berkeliaran kemana-mana. Mencari-cari rumah, tempat ia menjadi diri sendiri dan
belajar mencintai apapun yang hadir dalam hidupnya. Meninggalkan laptopnya yang
sengaja tidak dimatikan. Berharap orang-orang yang melihatnya membaca tulisan
di layarnya.
Sepertinya mulai jelas siapa dalang dibalik kesesakan pikiran
akhir-akhir ini: keluasan hati. Ya. Aku kehilangan keluasan hati. Mungkin karena
aku terlalu memenjarakan diri di ruangan 2x2 meter persegi ini. Atau mungkin
aku terlalu menuntut kotakku sehingga tak hadirnya luasnya pikiran yang
kubutuhkan. Ya Allah jangan sempitkan hamba. Luaskanlah hati hamba. Buat hati
hamba menerima segalanya tanpa perlu penolakan yang melelahkan jiwa. Aku percaya,
terjadinya sesuatu padaku pasti ada manfaatnya, ia tidak tercipta sia-sia,
mungkin untuk masa depan yang tak bisa kuprediksi. Tolong aku ya Allah. Aamiin..
Bumi Meluaskan |
Tentang sesuatu yang datang
padamu, tunggulah sampai ia mengaku untuk apa ia hadir. Atau kalau kau tidak
sanggup untuk bersabar lagi, yakinkan dirimu kalau ia hadir tidak hanya sekedar
numpang lewat. Maka dengan sesuatu itu, jangan kamu siakan karena ia datang
bukan untuk menyiakanmu. Percayalah, hei diriku.
Saya suka.
ReplyDeleteAaaakk terima kasih *sungkem*
Delete