9/13/14

L.U.A.S



Jasadku berkeliaran dimana-mana tapi tidak dengan jiwaku. Ia mendekam di satu kotak bernama rindu. Menunggu-nunggu dimana-mana itu bisa berubah menjadi rumah, tempat dimana aku merasa tenang bahkan ketika diganggu sekalipun.

Njani menghentikan tulisannya sementara Payung Teduh mulai mengalun rendah, menjadi satu-satunya suara yang setia menemani detak tuts laptop ketika huruf-huruf menari di layar laptop. Secangkir kopi diam saja mendingin sejak sepuluh menit ia diseduh namun tak disentuh. Ia mau sekali mengajaknya bicara, namun kata bagi cangkir kopi tak akan mampu meluluhkan pemiliknya. “Wanita itu sedang gundah. Ia butuh sunyi,” bisiknya pada sendok tembaga.

Tak ada sore. Dan udara menjadi segar. Tak ada gelap. Lalu mata enggan menatap. Tak ada bintang mati. Butiran pasir terbang ke langit. Tak ada fajar. Hanya remang malam semua tlah hilang. Terserah matahari.

Lalu lalang manusia di luar jendela memenjara penglihatan Njani. “Tidakkah mereka merasakannya? Atau mungkin pernah dan sekarang sudah tidak lagi? Bagaimana cara menghilangkan perasaan ini?” lirihnya pada sela tirai yang tersibak angin.

Bagaimana kalau yang kulakukan selama ini adalah karena komitmen, bukan karena cinta? Seperti katamu malam itu, komitmen tidak lebih tinggi derajatnya dari cinta. Komitmen bersifat memaksa. Cinta tidak. Bahkan dengan cinta, perasaan membutuhkan itu ada.

Harum mawar membunuh bulan. Rahasia tetap diam tak terucap. Untuk itu semua aku mencarimu. Berikan tanganmu. Jabat jemariku. Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu. Berikan suaramu pada semua bisikanmu memanggil namaku.

“Hai cangkir kopi? Apa karena komitmen kamu rela menahan sakit air panas mengisi perutmu? Atau karena cinta? Panas itu pada akhirnya menjadi kebutuhanmu, bukan sesuatu yang memaksa engkau bertahan. Begitukah?”

Sendok tembaga berdenting, menyadarkan cangkir kopi bahwa ia dihiraukan. Hadirnya selama ini dianggap ada. “Apa yang harus kita lakukan, cangkir?”

“Kita tunggu beberapa menit lagi sendok. Kurasa wanita itu akan menemukan jawabannya sendiri.”

Njani, sendok tembaga dan cangkir kopi termenung. Tenggelam dalam kolam pikiran masing-masing. Payung Teduh mencapai klimaksnya.

Atau kau ingin aku berteriak sekencang-kencangnya agar seluruh ruangan ini bergetar oleh suaramu.

Orang-orang bicara tentang manfaat dan guna. Tapi kurasa, manfaat itu palsu jika aku sendiri tidak merasakannya. Jadi, untuk apa semua ini? Sombongkah aku ketika merasa aku tidak membutuhkan ini semua?

“Hai sendok tembaga, apa kau punya mata? Bisakah kamu melihat awan-awan itu? Bagaimana rasanya berarak kesana-kemari menurut pada angin sedang mungkin saja ada tempat yang ingin disitu saja ia teduhkan? Pernahkah awan merasa tidak perlu bepergian karena di tempatnya ia berasal sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan jiwanya?”

“Mereka pernah merasakan itu, Njani. Tapi mereka terus berarak kemana angin mau. Ini bukan tentang diri mereka sendiri melainkan orang lain. Tahukah kamu mengapa begitu? Karena bisa saja dengan lebih memenuhi kebutuhan orang lain, mereka lebih mengetahui kebutuhan diri sendiri. Belum tahukah kamu rahasia semesta ini?” Sendok tembaga berceloteh. Namun hanya dentingnya pada cangkir kopi yang terdengar oleh Njani.

Bahasa yang berbeda. Ketika berbicara dengan bahasa berbeda, sekeras apapun sendok tembaga dan cangkir kopi berusaha dimengerti Njani, tetap tak terdengar apapun. Butuh kuasa Maha Komunikasi untuk menyampaikannya.

Mungkin ini juga yang sedang melanda jiwa Njani. Bahasa Tuhan yang terkata oleh segala peristiwa yang terjadi selama ini belum sampai pada hatinya. Sebenarnya apa yang Tuhan inginkan pada diri Njani?

“Hai cangkir dan sendok, barusan aku bertanya apa? Sombongkah aku ketika merasa aku tidak membutuhkan ini semua?”

Njani mendengus panjang, mengalihkan pandangannya pada air coklat yang mulai memudar di dalam cangkirnya. Njani memutar sendok tembaga, mengaduk bubuk kopi yang mengendap di dasar cangkir, membuat airnya kembali menua. “Memang aku tahu apa tentang diriku?” Kalimat terakhirnya sebelum ia menyesap habis sarapan paginya.

Di luar langit mulai mendung. Njani segera beranjak dari ruangannya.  Kembali berkeliaran kemana-mana. Mencari-cari rumah, tempat ia menjadi diri sendiri dan belajar mencintai apapun yang hadir dalam hidupnya. Meninggalkan laptopnya yang sengaja tidak dimatikan. Berharap orang-orang yang melihatnya membaca tulisan di layarnya.

Sepertinya mulai jelas siapa dalang dibalik kesesakan pikiran akhir-akhir ini: keluasan hati. Ya. Aku kehilangan keluasan hati. Mungkin karena aku terlalu memenjarakan diri di ruangan 2x2 meter persegi ini. Atau mungkin aku terlalu menuntut kotakku sehingga tak hadirnya luasnya pikiran yang kubutuhkan. Ya Allah jangan sempitkan hamba. Luaskanlah hati hamba. Buat hati hamba menerima segalanya tanpa perlu penolakan yang melelahkan jiwa. Aku percaya, terjadinya sesuatu padaku pasti ada manfaatnya, ia tidak tercipta sia-sia, mungkin untuk masa depan yang tak bisa kuprediksi. Tolong aku ya Allah. Aamiin..

Bumi Meluaskan


Tentang sesuatu yang datang padamu, tunggulah sampai ia mengaku untuk apa ia hadir. Atau kalau kau tidak sanggup untuk bersabar lagi, yakinkan dirimu kalau ia hadir tidak hanya sekedar numpang lewat. Maka dengan sesuatu itu, jangan kamu siakan karena ia datang bukan untuk menyiakanmu. Percayalah, hei diriku.

2 comments: