Ada satu kalimat yang saya suka dari Anggun Kamis, 19 Juni 2013 lalu.
“Kalo lo ngajak Nisa pergi, siap-siap pake sepatu. Nanti dia tiba-tiba bakal
ngajak lo kemana-mana dulu.” Hehehe, udah pengalaman ya, Nggun? Buktinya lusa
lalu teman ngopi saya itu mengenakan sandal gunung barunya. Ciiiee. Namun
sayangnya, teman berjalan saya yang lain, namanya Elok, pakai sepatu yang tidak
comfortable buat diajak melipir kesana-kemari. Alhasil agak repot juga
dibuatnya. Maaf ya neng ^^
Saya mengeles, “Pokoknya sebelum kalian kabur dari Bogor, gue mau
ngajak kalian keliling Bogor dulu.” Cailaaah. Mumpung kita lagi keluar, makanya
saja ajak mereka mlesiran dulu. Masalahnya susah kalau harus mencari waktu yang
pas. Masih berstatus pelajar soalnya hehe.
Ketika elf melewati pertigaan Cibodas, saya mengusulkan, “Nanti
pulangnya ke Cibodas dulu ya.”
Beberapa hari yang lalu Elok minta diantar ke Cipanas mengambil
tanaman tomat untuk keperluan penelitiannya. Hayu lah. Cipanas doang mah saya
tahu. Tapi setelah dia menyebutkan kata Agropolitan, Pegadaian, dan petunjuk
lainnya, saya angkat tangan. Dimana itu? Mendekati Cipanas saya berkata, “Gue
nggak tahu lho ini kita harus turun dimana?” Dua penumpang di bangku belakang
elf putih terjungkal. Hahaha telat banget sih ini. Kenek dan sopir bingung mau
turunin kita dimana. Penumpang lain ikutan bingung. Kita bertiga cengengesan.
Saya memutuskan turun di Istana Presiden di Cipanas. Cuman itu yang saya tahu
mengenai Cipanas. Hahaha kagak gaul emang.
Numpang ke toilet gratis dulu di warnet hasil lobian Anggun.
Besok-besok harus bawa wanita berkacamata ini nih kalau butuh yang
gratis-gratis. Kulit mukanya tebal. Kalau sudah kepepet, nggak ada tuh kata
“Malu” dalam kamusnya. Elok tanya sana-sini ke tukang delman. Dari Istana
Cipanas kami menaiki angkot kuning menuju kawasan Agropolitan Cianjur. Oh my God, ternyata tempat yang dituju
ada di Ciajur, sedangkan kami sudah sampai ke Cipanas. Yo wes, mundur lagi
kita. Di dalam angkot kami bertemu rombongan anak SMP yang akan pergi ke Cibodas.
Mungkin kami bertemu mereka lagi kalau jadi berbelok dulu ke daerah wisata itu.
Agropolitan masih jauh di atas. Karena ojek yang ada tidak cukup untuk
kami bertiga, akhirnya kami berjalan kaki. Langkah kami terus bergerak
mengikuti jalan yang ada tanpa tahu harus melangkah kemana. Meskipun panas,
udara di sana sangat sejuk. Mata pencaharian penduduk di lereng gunung itu
kebanyakan petani. Dari petani sayur sampai petani tanaman hias. Kalau saya
mengajak Mama kesana, pasti bawa belanjaan banyak banget, terutama tanaman
hias. Jalan-jalan, eh salah, misi kami menemukan tanaman tomat kali itu
berhasil melupakan kami akan rutinitas kampus di kota yang tidak ekologis. Hore
kabuuur. Eh.
Setiap kali melihat kebun, kami bertanya, “Disini ada yang tanam tomat
tidak?” Bahkan Elok bertanya ke anak kecil yang hanya bisa menatap polos.
Mungkin dalam hatinya berkata, “Kakak ini ngapain sih jauh-jauh nyariin tomat?
Di pasar juga ada.” Saya dan Anggun cekikikan melihat tingkah Elok yang ngebet
banget ketemu tomat. Kebun ketiga yang kami tanya akhirnya memberi jawaban
positif. Do’a Elok selama perjalanan terkabul.
Tiga anak kecil mengantar kami ke Pak Marta (yakin nih namanya Pak
Marta?), pemilik kebun tomat yang diharapkan Elok. Ketiga bocah itu
mengingatkan saya kepada film Catatan Akhir Sekolah. Tahu? Ituloh ketiga
sahabat yang menamakan geng-nya dengan sebutan A3. Nah ketiga bocah ini juga
punya julukan A3. Anggotanya ada Anes, Andi, dan A lain yang saya lupa namaya.
Maaf ya, Dek ^^
|
A3 |
Elok senyam-senyum. Wanita yang passion-nya sedang tinggi terhadap
gunung itu sumringah menemukan kebun tomat yang terserang penyakit layu akibat
serangan bakteri Ralstonia solanacearum.
Inilah seninya menjadi mahasiswi Proteksi Tanaman. Di kala petani sedih karena
kebunnya sakit, kita malah kesenangan.
|
Serangan Layu Bakteri |
Ketika kami sampai di kebunnya, ada dua ibu petani yang sedang
memotong cabang. Ini adalah teknik pemeliharaan tanaman agar tomat yang
dihasilkan berisi dan bisa masuk supermarket di Jakarta. Kebun tomat Pak Marta
seketika ramai. Selain kami, Pak Marta, dan petani, ternyata istri dan
anak-anaknya juga ikut ke kebun. Saya selalu suka cara orang desa menyambut
orang luar. Kami jadi tidak merasa asing.
|
Gadis Kebun |
|
Mejeng di Kebun |
“Aku nggak nyangka bisa dapat sebanyak ini.” Elok panen tomat layu
hampir satu kresek besar! Pak Marta dan keluarga baik sekali. Kita tidak perlu
jauh-jauh ke Agropolitan yang entah ada dimana. Tidak perlu naik ojek yang
mahalnya minta ampun. Meminjam kalimat Elok, “Allah itu Maha Adil.” Dan kalimat
ini terus ia ucapkan sampai kami pulang ke Bogor. Alhamdulillah.
Setelah berterima kasih dan menolak dengan berat hati ajakan istri Pak
Marta menikmati hidangan kampung, kami melanjutkan perjalanan menuju Cibodas. Namun
sebelum pulang, kami disuguhkan tingkah polos anak-anak Pak Marta.
“Bu lihat.” Bocah lelaki menunjukkan kepada kami bunga yang mereka
rangkai menjadi gelang.
“Wah lucu banget. Pinter ya. Apa nama bunganya?”
Bocah laki-laki itu berpikir sesaat, “Bunga putih.”
GUBRAK! Hahaha.
|
Gelang Bunga |
Sesuai dengan arahan anak SMP, kami menaiki angkot kuning jurusan
Cipanas-Rarahan-Cibodas. Kalau kalian ingin ke Cibodas dari Cipanas, harap
hati-hati. Semua angkot berwarna kuning, namun jurusannya macam-macam. Ada
angkot kuning yang bagian bawah angkot berwarna pink menuju Puncak, kuning
polos semua ke Cibodas, dan angkot kuning-hitam menuju ke … lupa. Jadi kalau
mau ke Cibodas naik angkot kuning semua. Ongkosnya Rp 2000 saja.
Sampai di sana kami makan siang dulu. Anggun mengajak saya ngopi. Dan
ini menjadi kopi keliling kami yang keempat. Apa kelima? Keenam? Lupa lagi
(lupa mulu nih kayak nenek-nenek). Dia memesan Torabika, saya Kapal Api. Minta
Elok memotret kegiatan tidak penting kami. Anggun menjelaskan, “Kita kalau
kemana-mana harus ngopi, Lok. Nanti mau kita bukuin udah pernah ngopi dimana
aja. Sayang, kemarin ke Papandayan lupa difoto pas ngopi.” Saya senyam-senyum.
Penting nggak sih kita nih? Bodo amat, ayo pose ^^
|
Ngopi di Cibodas |
Hampir lima tahun saya tidak pernah ke Cibodas lagi. Alhamdulillah ya
teman-teman saya mau diajak putar kemudi dulu tidak langsung pulang. Tiket
masuk Kebun Raya Cibodas Rp 9500 per orang. Kalau pakai kendaraan ada tiket
tambahan. Ada fasilitas kereta keliling kalau mau keliling kebun raya. Rp 5000 saja
per orang. Saja? Hahaha. Bagi mahasiswa, lima ribu udah bisa beli makan. Jalan
kaki sajalah kita. Lagi.
Setelah masuk ke dalam, mereka bertanya, “Mau kemana kita?”
“Lihat air terjun.”
“Lewat mana, Nis?”
“Nggak tahu.”
Hahaha, saya nih mau kemana-mana banyak tidak tahunya. Ya sudah kita
jalan mengikuti pentujuk. Foto-foto dulu di danau teratai. Berjalan lagi.
Bertemu rombongan ibu-ibu. Tanya dimana air terjun. Bertemu mobil kolbak.
Numpang naik sampai ke parkiran air terjun. Gratisan mulu nih maunya. Alhamdulillah
ya.
|
Di Atas Kolbak |
Cibodas ramai sekali. Maklum musim liburan. Kebun Raya Cibodas
menawarkan berbagai tempat wisata alam yang menarik. Di antaranya Taman Sakura,
Taman Lumut, Air Terjun Ciismun, Air Terjun Cibogo, Jalan Auracia, dan lainnya.
Walaupun belum pernah kesana, saya merekomendasikan Jalan Auracia untuk
dikunjungi. Foto di peta wisata yang menunjukkan jalan tersebut bagus sekali.
Kapan-kapan deh ya. Kami bertiga hanya melewati Jalan Air menuju Air Terjun
Cobogo saja, karena ada destinasi lain yang tiba-tiba muncul di otak saya.
Sebelum kami putar kemudi lagi, foto-foto dulu lah di KR Cibodas ^^
|
Kolam Air Dingin |
|
Jalan Air |
|
Curug Cibogo |
Kami tidak berlama-lama di Kebun Raya Cibodas. Tujuan selanjutnya
adalah Air Terjun Cibeureum yang ada di luar kawasan kebun raya. Menuju ke air
terjun tersebut membutuhkan waktu dan energi yang banyak. Saya bertanya, “Yakin
kan kita mau ke Cibeureum?” Karena mereka berdua yakin, saya percaya saja. Yang
penting mau dulu, masalah susah atau tidak, urusan belakangan. Bisa lah diatur,
kan ada Allah SWT yang melindungi. Meski di dalam rimba hutan sekalipun,
pertolongan Allah dekat kawan ^^
Air terjun Cibeureum dapat dikunjungi setelah melakukan perjalanan
masuk ke hutan mengikuti jalur pendakian Gunung Gede-Pangrango via jalur
Cibodas. Saya mengajak Anggun dan Elok ke sana sekaligus memperkenalkan medan
yang akan mereka lalui kalau mau naik Pangrango lewat Cibodas. Hitung-hitung
persiapan lah, biar tidak kaget. Kapan kita ke Pangrango? “Pas puasa,” ajak
Anggun. Saya pikir-pikir dulu deh.
|
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango |
Tiket masuk ke Curug Cibeureum Rp 3000 saja. Kalau mau sekalian
mendaki, harus ada izin Simaksi dulu. Bisa daftar online kesini atau datangi
saja Resort Mandalawangi.
“Ke air terjun berapa, Pak?”
“Tiga ribu. Sendiri aja, mbak?”
“Bertiga Pak.”
“Perempuan semua?”
“Iya. Nggak boleh ya, Pak?”
“Boleh sih, tapi sudah biasa naik, mbak?”
“Iya. Rame nggak Pak di atas?”
“Rame kok.”
“Jauh nggak sih, Pak? Berapa lama naiknya?”
“Sejam lah.”
Masih dibayangi rasa khawatir petugas Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango, saya memastikan bekal air kami cukup. Elok juga bawa snack,
lumayan lah buat dikemil. Bismillahirrahmanirrahim, berangkatlah kami.
Waaaah ternyata jalannya semakin bagus dibandingkan 5 tahun lalu.
Jalan tidak lagi ada becek karena semua jalan adalah tangga berbatu, sehingga
tidak terlalu licin. Wah ini sih enak banget kalau ke Pangrango via Cibodas.
Tidak sulit lah, kecuali agak capek karena pijakan kita keras menapak batu.
|
Jalan Tangga Berbatu |
Saya memaklumi teman saya yang banyak berhentinya. Perjalanan ini sama
saja dengan mendaki gunung. Masalahnya kami dadakan, tidak ada persiapan
olahraga, alas kaki yang kami pakai juga tidak pas untuk mendaki. Crocs Elok
membuat kami sering mencari pohon tumbang atau batu besar untuk istirahat.
Kesempatan ini dimanfaatkan untuk membasahi tenggorokkan yang kering. Sayangnya, air minum saya
tinggal sedikit. Hemat deh hemat.
|
Istirahat |
Waktu itu pukul satu siang tidak ada orang yang mendaki selain kami
bertiga. Yang ada hanya pengunjung yang turun. “Kayaknya kita salah jam naik
ya? Sepi begini yang naik.” Hiiiiii. Tiap kali bertemu orang, ada saja yang
bertanya, “Air terjun masih jauh ya?” Dan selalu “Masih jauh,” yang terjawab.
Hehehe semangat teman-teman! Jangan tiba-tiba pengen turun ya. Nanti kalau
mendaki kita bawa beban lho, perjalanan bakal jauh lebih berat dari sekarang.
Mana senyumnya? ^^
Allah punya caraNya sendiri dan sangat pas untuk menghilangkan peluh
kami. Cicit burung hutan, krik-krik getaran sayap jangkrik, hembusan angin
dingin menyentuh wajah, suara riak air sungai, serta garis cahaya matahari yang
membelah cabang pohon. Semua itu mampu menyalakan api semangat kami untuk terus
melangkah. “Allah Maha Adil,” sebut Elok berkali-kali. Saya dan Anggun
menyetujui. Inilah secuil bukti kekuasaan Allah sangat besar. Tidak ada satu
makhluk di dunia-Nya yang luput dari campur tanganNya. Allah Maha Mengatur.
PengaturanNya begitu sempurna. Subhanallah!
“Hilang semua racun di tubuh gue,” celetuk Anggun.
“Kalo udah begini, gue lupa kalo harus pulang,” Saya cengengesan
mengingat dosen pembimbing skripsi saya ingin bertemu pas ketika saya sudah
sampai Cibodas. Maaf Pak maaf.
Jalan batu yang melelahkan berganti dengan jembatan. Saya sempat
bingung, “Perasaan dulu jembatannya nggak berbatu gini deh? Apa salah jalan?
Tapi dari tadi tidak ada jalan lain.” Lima tahun ditinggal, ternyata Gunung
Gede-Pangrango mengalami banyak perubahan positif. Jalan berganti dengan tangga
berbatu, jembatan menyebrangi Rawa Gayonggong (1400 mdpl) tidak lagi disusun
dengan kayu rusak tetapi oleh jembatan beraspal, pos-pos peristirahatan pun
dindingnya banyak yang dicat sehingga terlihat rapi. Dulu? Boro-boro dicat,
warna pos yang kusam membuat saya agak takut juga beristirahat di sana. Agak
horor-horor gimana gitu hehe.
|
Jembatan |
Alhamdulillah deh sekarang mah! Rasa syukur dan berterima kasih
harusnya semakin membumbung tinggi. Perjalanan ke Pangrango akan lebih mudah
insya Allah. Saya sampaikan terima kasih kepada orang-orang yang sudah susah
payah membangun jembatan ini. Tidak mudah lho membawa bersak-sak pasir ke atas
gunung. Walaupun mungkin ada beberapa pendaki yang merasa kehilangan sensasi
mendaki karena fasilitas ini. Yaelah, dikasih emas minta perunggu. Hanya saja
kebersihan fasilitas ini masih rentan oleh tangan-tangan jahil yang suka
mencorat-coret. Coba itu anak alay dibaca peraturan mendakinya ya. Pada bisa
baca, kan?
Tidak lama kemudian kami sampai di Persinggahan Panyangcangan. Di
persimpangan ini jalan terbagi dua arah. Belok kanan menuju Curug Cibeureum.
Belok kiri melanjutkan pendakian. Dari pos ini harus melangkah sejauh 2.8 km
lagi menuju Air Panas, 8.5 km menuju Puncak Gede, dan 10.5 km menuju Puncak
Pangrango. Saya yakin dalam hari Anggun dan Elok sudah tindak sabar mendaki
kedua puncak itu.
“Mau sekalian ke puncak, neng?” ajak saya.
“Ya nggak sekarang juga kali, Nis.”
Jalan tangga batu akan berakhir di Air Panas, selanjutnya ya seperti
jalan di gunung lainnya. Saya sih ayo saja kalau mereka mau melanjutkan ke Air Panas.
Tapi mendaki hingga ke puncak? Aduh, terlalu ambisius. Mana kami tidak bawa
apa-apa lagi? hehehe, besok-besok saya kesini lagi deh sampai puncak insya
Allah.
|
Panyangcangan |
Berjalan sebentar dari Panyangcangan sampailah kami di Curug
Cibeureum. Ditambah istirahat berkali-kali dengan jalan santai, kami melewati
2.8 km dari Resort Mandalawangi ke Curug Cibeureum selama 1.5 jam. Air terjun
ini berada di ketinggian 1625 mdpl. Curug ini memiliki tiga air terjun yang
berada di lokasi berbeda dan memberikan kesejukan tersendiri.
|
Curug Satu |
|
Curug Dua |
Di Curug Tiga Cibeureum kami bertemu dengan sepasang suami istri dari
Arab dan seorang pemandu wisata. Kami mengobrol sebentar dengan guide itu dengan harapan mau dimintai
tolong memotret kami di bawah air terjun hehe. Jasa guide untuk orang asing,
terutama orang Arab (pemandu itu menyebutnya Riyadh), dihargai Rp 300 000.
Maaak, mahal amat. Bersyukurlah saya tidak menjadi orang asing di negeri
jelemaan surga ini. Sebagai guide, dia bisa berbagai bahasa kecuali Bahasa
Jepang. Waaah.
|
Curug Tiga |
Ada yang tahu kenapa air terjun ini dinamai Cibeureum? Orang Sunda
pasti tahu kalau Beureum berarti merah. Yap. Dinding air terjun ini banyak
ditumbuhi oleh lumut berwarna merah (Spagnum
gedeanum) yang menyebabkan warna air terlihat kemerah-merahan. Lumut ini
endemik di Jawa Barat. Sehabis hujan, kita dapat mencium aroma tanah hutan
hujan tropis dengan suara katak, salah satunya kata Leptophryne cruentata yang merupakan katak endemik dan masuk dalam
daftar merah IUCN sebagai kategori terancam punah. Menjaga kelestarian Curug
Cibeureum berarti menjaga hewan langka itu.
Fasilitas apa saja yang ada di sana? Ada tiga balai batu untuk duduk,
toilet dua pintu, dan meja panjang rendah untuk sholat. Selain itu juga ada beberapa
bangunan yang baru dibangun untuk warung. Sip lah.
Kami menghabiskan siang disana. Sebelum jam 4 kami turun karena kami
mengejar magrib di Masjid At Ta’awun. Selama perjalanan turun kami banyak
bertemu pendaki yang baru turun dari Gunung Pangrango maupun Gunung Gede. “Enak
naik Pangrango lewat Gunung Putri cuman 6 jam. Kalo dari sini (Cibodas) 8 jam.
Tapi kalau turun terserah enak lewat mana aja.” Oke deh, nanti diatur lah ya.
Gunung itu tempat kabur yang paling saya suka. Mendaki gunung itu meditasi
yang melegakan. Sayang tidak semua orang di lingkungan saya sependapat. Apalagi
alasan-alasan klise seperti, “Kamu kan perempuan.” Karena keadaan memaksa saya
untuk tidak bisa naik gunung dekat-dekat ini, saya harus curi-curi kesempatan
untuk bisa menikmatinya. Maka saya bersyukur dan berterima kasih kepada Anggun
dan Elok yang mau saja saya ajak berbelok dulu trekking sebentar ke Curug
Cibeureum. Meski pegal-pegal, kangen saya kepada gunung cukup terlampiaskan
hari itu.
Dan karena belum disebut bepergian kalau tidak membawa buah tangan,
apalagi Arini minta dibeliin oleh-oleh, akhirnya kami melipir ke jajaran warun.
Disana banyak dijual berbagai asesoris khas gunung Gede-Pangarango, kaos anak,
keripik tempe dan bayam, tanaman hias, dan lainnya. Kaktus mini dihargai Rp 5
000 saja. Kalau mau beli keripik, Rp 10 000 dapat 3 bungkus. Sok dipilih
dipilih.
|
Penjual Kaktus Mini |
Menuju Masjid At Ta’awun dari Cibodas bisa menumpang angkot
kuning-pink dengan ongkos Rp 3000. Masjid yang menjadi destinasi penting di
Puncak itu tidak kalah ramai. Menunggu adzan maghrib, kami makan dulu di warung
seberang masjid. Kocek harus digali sangat dalam karena makan di tempat wisata
tidak pernah murah. Mie rebus pakai telor dan secangkir tinggi bandrek susu
menemani kami menikmati hawa sejuk kebun teh menjelang senja.
|
Masjid At Ta'awun |
Puncak macet itu biasa kalau weekend.
Puncak macet hari Kamis itu baru luar biasa. Kata supir angkot sih, “Puncak
sudah beda banget dari dulu. Petani semakin sedikit karena lahan untuk bertanam
sayur berubah menjadi lahan yang ditanami beton-beton untuk vila. Sekarang
banyak yang jualan warung saja. Pertumbuhan jalan raya tidak sejalan dengan
pertumbuhan mobil yang lewat. Mobil makin banyak, jalan tidak diperlebar. Ya
macet sudah.”
Meski pulang harus berhadapan dengan ganasnya kemacetan Puncak, hari
itu banyak berkah yang kami dapatkan. More
than what we expected before. Alhamdulillah. Apalagi ditutup dengan
matahari terbenam yang keren banget!
|
Full Sunset |