2/14/15

Ketika Perempuan Menangis



Rumah kami cukup besar untuk diisi oleh dua manusia. Lelaki kelas 2 SMA yang kusebut diriku, dan perempuan cantik yang selalu kupanggil Umi. Tetangga kami memanggilnya Bu Lastri. Harusnya ada satu lelaki lagi. Kupanggil Abi. Namun wajah beliau hanya tersenyum lebar di dalam kotak berkaca yang kusebut pigura foto. Jasadnya sudah tidak di rumah ini lagi. Mungkin sekarang sedang dimakan cacing tanah. Tapi kuharap tubuhnya masih segar bugar, seperti terakhir kali kami bertiga mendaki Gunung Pangrango. Kuyakin, kumpulan otot yang kekar itu pasti masih terlihat keren meski sudah dicicipi ribuan serangga tanah pemakaman.

Saking besar dan sepinya rumah kami, segala suara mudah saja terdengar. Blender hadiah pernikahan menderu setiap pagi. Saat belum ada suara lain yang terdengar. Jika banyak yang mengatakan ayam yang membangunkan manusia dengan kokokannya. Di rumah kami, Umi membangunkan ayam ternak Abi dengan deru blendernya. Sebelum pukul 6, dua gelas jus wortel sudah tersaji di meja makan kami bersama nasi goreng keju dan roti bakar.

Selain deru mesin pembuat jus, detak detik jam dan air keran yang mengucur di bak mandi yang baru saja dibersihkan Umi setiap Sabtu pun gampang sekali terdengar. Semua aktivitas rumah yang menghasilkan suara mengisi kekosongan tiap sudut di rumah kami yang sepi. Di antara semua jenis nada yang ada di rumah, aku menyukai dua gelombang bunyi yang keluar dari bibir tipis Umi yang tampak manis meski tanpa lipstik: lantunan qira’at Al Qur’an dan sedu tangisan Umi.

Mulai dari umurku dua tahun, aku senang sekali menggelayut di belakang punggung Umi ketika Umi membaca Al Qur’an. Aku menarik-tarik kerudung warna lautnya. Aku membolak-balik halaman Al Qur’an yang terlihat sangat aneh di mataku saat itu, seperti kumpulan sandi yang mampu memecahkan permasalahan hidup. Aku mengusik Umi saking senangnya mendengar Umi membaca Al Qur’an.

Jika ada yang mengganggku membaca Al Qur’an layaknya aku kecil dulu, pasti sudah kubentak. Menyebalkan sekali jika sedang khu’syu beribadah malah diganggu orang. Tapi aku tidak pernah mendengar Umi membentakku karena telah mengusiknya. Umi malah menggendongku sehingga telinga ku dengan bibirnya hanya berjarak sesenti saja. Makin bahagia lah aku bisa mendengar qira’atnya lebih jelas.

Aku masih menyukai bacaan Al Qur’an nya. Memang tidak bisa disamakan dengan Nasser Al Qatami. Namun tetap saja indah. Tidak terlalu banyak cengkok yang dibuat-buat tetap saja merdu. Menenangkan. Membuat aku menghentikan sejenak dari mengerjakan PR untuk mendengarkannya.

Namun di malam yang cerah itu, aku mendengar suara lain dari bacaannya. Sesenggukan yang terbata dan sangat lama berhentinya. Umi menangis.

Tears


Aku menghampiri ruang ibadah dan menemukan Umi sedang bersujud. Tubuhnya berguncang tak tentu arah. Belum pernah kulihat Umi menangis sejadi-jadinya. Aku perlahan mengambil kotak tisu dan menyerahkannya di samping bahu Umi yang masih terguncang. Tak mau aku mengeluarkan satu suara pun sehingga ia sadar aku ada di sana.

Yang kutahu, ketika perempuan menangis, tak sedikit pun ia ingin ditemui. Begitu pula Umi. Maka kubiarkan saja Umi berduaan dengan Tuhan. Mungkin ada yang membebaninya akhir-akhirnya.

Payahnya aku. “Bukan mungkin ada. Pasti selalu ada. Ya, kan Umi?” Akhirnya aku bertanya kepada Umi kesekokan paginya sebelum berangkat sekolah.

Pagi ini, Umi tampak cantik dan berseri-seri. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung nasyid yang sangat kusuka. Haji Menuju Allah yang dipopulerkan oleh Raihan. Umi ingin sekali naik haji. Diam-diam kusisihkan seribu dari uang jajanku untuk mewujudkannya. Tapi betapa payahnya aku, jam tangan tahan air membuat aku memecahkan celengan ayamku.

Umi manis seperti biasanya. Pantas saja Abi jatuh cinta. Umi manis seperti orang lupa habis menangis. Pantas saja Abi selalu jatuh cinta. Namun bengkak di bawah matanya, tak berhasil ia sembunyikan dariku. Dengan keberanian yang besar, aku bertanya alasannya.

“Terima kasih tisunya ya, Nak.” Umi mengelus rambut yang selalu ia ingatkan setiap Jum’at untuk selalu dikeramas. “Anakku yang paling ganteng ini mirip sekali sama Abinya. Abi dulu juga gitu. Suka diam-diam kasih tisu pas Umi menangis. Romantis.”

“Ya, kan Umi?” Aku menekan pertanyaanku yang ia hindari.

“Tidak apa-apa.”

“Gara-gara aku ya, Umi?” Ketika perempuan menangis, dan hanya ada satu lelaki, aku, di sisinya, pastilah aku penyebabnya. Kan?

“Bukan gara-gara Bilal, kok, Sayang.”

“Terus gara-gara siapa?”

“Bukan siapa-siapa.”

“Amir dan Umay ya. Mereka kan suka bercanda dan ogah-ogahan waktu ngaji sama Umi. Aku lihat Umi sampai mendengus. Umi capek ya, makanya Umi menangis?”

Umi terdiam sebentar lalu menggeleng. Pasti itu. Umi capek.

“Umi kalau capek nggak usah memaksakan mengajar saja. Bilal hitung-hitung, profit dari usaha Abi cukup sampai Bilal kuliah, kok. Setelah itu, insya Allah biar Bilal yang mencari, eh salah, menjemput rezeki Allah. Iya, Mi?”

Aku melihat sebutir air mata di ujung kelopaknya. Umi masih tidak mengemukakan alasannya.

“Atau karena Bilal bilang rasa masakan Umi aneh?”

Umi menggeleng. Pasti itu.

“Maafkan Bilal, Umi. Bilal nggak lagi-lagi deh mencemooh masakan Umi. Kan, nggak boleh kata Rosul juga, ya. Maaf ya, Umi.”

Kudengar napas Umi dihembuskan sangat panjang di atas kepalaku.

“Umi kesepian ya?” Bisa dibayangkan rasanya menjadi Umi yang hampir setengah hari hanya sendiri di rumah sebesar ini, pasti kesepian.

Umi tetap bungkam.

Sarapanku selesai. Jam sudah menunjukkan pukul 06.15 dan aku harus segera mengayuh sepedaku menuju sekolah. Sebenarnya ada perasaan kesal karena Umi tidak memberi tahuku alasan sebenarnya ia menangis hebat semalam. Apa Umi tidak mempercayaiku? Mengapa Umi tidak mau cerita?

Umi mengambil tas sekolahku yang tergeletak di sofa. Tangannya yang mulai keriput memegang pundakku. Ia tersenyum lepas sambil berkata, “Maafkan Umi ya, tidak cerita padamu mengapa Umi menangis, Anakku. Ketika perempuan menangis, memang begitu. Ia adalah makhluk misterius yang bisa berganti wajah sesuka ia mengaturnya. Meski mungkin masih tampak kekacauan di wajahnya, ia bersikeras bersikap biasa saja. Bahkan mungkin ia bisa pura-pura ke kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya disana tanpa mau terlihat siapa pun.”

Aku mengangkat kepalaku. Satu rahasia terbesar perempuan terungkap sudah.

“Mungkin terlalu cepat Umi berkata ini, tapi ... ketika kau memiliki istri kelak dan kau lihat istri mu menangis, tak mengapa jika ia tidak memberi tahu alasannya kepadamu, ya. Perempuan butuh tangisan untuk menyeimbangkan kumpulan rasa yang terbendung seharian. Bahagia bersama suami, capek mengurus rumah dan harus bekerja, bosan melakukan hal yang itu-itu saja, atau khawatir ketika anaknya terlambat pulang sekolah. Segala rasa itu bercampur dengan aliran air mata yang akhirnya menenangkan mereka.

Jika kau tanya mengapa ia menangis, tentu saja ia tak akan mudah menjawabnya, karena begitu banyak alasan ia menangis. Perempuan akan memilah alasan mana yang tak mengapa untuk diungkapkan dan tidak perlu diungkapkan.” Umi tertawa sebentar lalu melanjutkan. “Bahkan ketika mengemukakan alasan, perempuan masih memiliki ratusan alasan lain yang ia sembunyikan.”

Mulutku terkatup.

“Mungkin yang kau sebagai lelaki harus lakukan adalah tidak menghinanya selesai ia menangis. Ia akan merasa lebih terhina dan menyalahkan karena telah menangis. Perempuan akan kalut dan putus asa bagaimana cara mereka mengungkapkan perasaannya jika dengan menangis mereka masih disalahkan.”

Satu pelajaran baru bagiku.

“Bilal tidak apa-apa kan jika istri Bilal nanti menangis kelamaan sampai lupa menyiapkan makanan?”

Aku kikuk. Bagamaina kalau aku sangat lapar? “Tak apa. Laparku semoga jadi ibadah karena menghargai waktu istri menenangkan dirinya.”

Umi tersenyum lebih lebar lagi. “Umi senang Bilal melakukan hal yang romantis semalam. Sekali lagi Umi bilang, seperti Abimu dulu. Suka diam-diam, bahkan sambil berjinjit, meletakkan kotak tisu di samping bahu Umi.” Di akhir kalimatnya Umi tertawa lepas. “Abimu itu sok romantis, Umi kan dengar langkah kaki Abi sekalipun ia berjinjit.”

Aku tertawa. Umi pun sama.

Aku bertekad, jika terdengar suara Umi menangis lagi, aku akan melakukan hal yang sama seperti kemarin. Setengah dari diriku, mungkin memang masih ada Abi. Akan kuhidupkan kembali Abi pada diriku untuk menemani Umi.

No comments:

Post a Comment