Menurut saya ada yang lebih
menyeramkan dari ketidakamanan. Ia adalah rasa aman. Ketika hidup dirasa mulai
stabil. Atau segala yang terjadi masih kita tangani. Kita akan merasa aman. Tidak
akan terjadi sebuah kesalahan. Kita bisa memegang kendali, karena kita terbiasa
melakukan hal-hal yang itu lagi. Karena rutinitas begitu-begitu saja, kita jadi
merasa tidak akan terjadi apa-apa.
Nikmat dunia. Memang ujian
paling berat adala ujian kenikmatan.
Kita sudah tahu bulan ini akan
mendapat gaji berapa. Sudah hafal berapa jumlah pengeluaran dan berapa uang
yang bisa ditabung. Kita punya hitung-hitungan sendiri yang sangat rumit. Kita seolah
serba tahu. Lalu tenang. Merasa aman. Lalu terlena. Mungkin kita merasa semua
telah terkendali. Sampai-sampai kita lupa, bukan kita yang memegang kendali. Mungkin
bersyukur ada. Namun lupa untuk selalu meminta tidak terjadi hal buruk menimpa
kita. Mungkin do’a itu ada. Tapi hanya selewat di mulut saja. Berbusa hingga
berludah-ludah. Namun hati gagu sedang meronta apa.
Bahkan ketika sedang berdo’a,
hati tidak tahu sedang berdo’a apa?
Atau mungkin dari kestabilan
itu ada kesalahan, tapi banyak alasan yang kita ciptakan sendiri untuk
menolerir kesalahan itu. Gagal membaca Al Matsurat Kubro yang biasa dilakukan
dulu. Kita mulai mencari tahu tentang Al Matsurat Sugro. Membiarkan diri kita
merasa akan tetap aman jika mengurangi porsi ibadah. Rasa aneh ketika ibadah
berkurang ditepis oleh alasan, “Nggak apa-apa dzikir yang sedikit, daripada
nggak dzikir?” Padahal surga nggak semurah itu.
Kita sudah merasa aman dengan
yang sedikit. Apakah ada jaminan dengan yang sedikit itu akan Allah ridhoi?
Yang penting kita tetap
berdzikir. Kalimat ini seperti berbunyi hanya menunaikan kewajiban saja. Layaknya
sholat yang dilakukan agar tidak disebut tidak sholat. Kewajiban. Seolah kita
bersedekah ibadah kepada yang kita sembah, karena jika tidak maka ia akan jatuh
miskin. HEI! Yang butuh itu kita, bukan Dia!
Yang penting kewajiban
terlaksana. Kita aman. Sekecil itu kah derajat cintamu?
Jangan pernah merasa aman. Takutlah
dengan yang sedikit. Lakukanlah yang tinggi. Dari zaman dulu hingga sekarang, satu
hari tetap 24 jam. Namun banyak di belahan bumi lain yang bisa menggunakan 24
jam itu semaksimal mungkin untuk dunia dan akhiratnya.
Hhhmmm ... sepertinya yang
kita perlukan adalah memutus perjalanan setan dalam aliran darah kita. Mungkin juga
yang kita perlukan adalah melihat ke luar, bagaimana hidup benar-benar bekerja
pada milyaran manusia lain sehingga do’a itu terucap dari hati naik ke langit.
wah bagus bgt bahasan nya, btw nice post kak'
ReplyDeleteTerima kasih ya
Delete