Kalau boleh saya tarik garis
kehidupan, hidup ini berjalan seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang datang
silih berganti tidak bosan-bosan. Saya rasa, kalian juga mengalami hal ini.
Ketika kuliah dulu, pertanyaan mainstream yang terdengar adalah “Kapan mulai
penelitian?”. Ketika penelitian, ditanya “Kapan lulus?” atau “Kapan sidang?”
Setelah lulus ditanya “Kapan wisuda?” Setelah wisuda ditanya, “Kapan kerja?”
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah “Kapan nikah?” Setelah nikah, tidak mungkin
tidak ditanya “Kapan punya anak?” Setelah punya anak ditanya, “Kapan punya anak
kedua, ketiga, keempat, keseratus?” Nah sampai pertanyaan ini, saya tidak tahu
pertanyaan apalagi yang akan ditanya. Mungkin akan ditanya “Kapan meninggal?”
Hehehe sepertinya tidak ada yang bertanya seperti itu ya.
Dan hidup saya sedang dilanda
(hehehe lebai amat bahasanya dilanda) pertanyaan “Kapan punya anak?” atau lebih
halusnya “Udah isi?” Awalnya bingung ketika orang-orang bertanya demikian. Apanya
yang diisi? Tapi karena mereka bertanya sambil melihat perut saya, saya
menjawab, “Belum, Bu,” sambil senyum dilebar-lebarkan.
Sekali dua kali pertanyaan
saya anggap biasa saja. Malah bahagia karena mereka juga ikut menunggu-nunggu
kehadiran yang diidamkan semua pasangan yang menikah. Dan sudah lebih dari
sepuluh kali ditanya pertanyaan yang sama. Mencoba tetap maklum, tapi mulai
gelisah juga.
Yaaa, sama lah waktu kuliah
dulu. Teman-teman sering bertanya “Kapan lulus?” Saya yang masih bergelut
dengan mikroskop dan mayat-mayat serangga melengos menjawab, “Penelitian aja
belum beres.” Sempat terlintas pertanyaan dalam hati, “Apa gue memang nggak
bisa menyelesaikan penelitian ini ya?” Tapi daripada down, saya tekadkan dalam
diri, “Slow, Nis, emang penelitian elo ribet banget, dan harus elo selesaikan
skripsinya dengan nilai cemerlang, bahkan tanpa coretan revisi sama sekali.
Tetap tenang dan lakukan dengan positif. Kontrol emosi elo dengan iman. Yeeaaah!!!”
Sekarang terlintas, “Kenapa ya
orang lain yang baru menikah bisa langsung isi, sedangkan saya tidak?”
Apalagi ketika mereka tahu
saya haid, entahlah, yang terlihat di mata saya ada ekspresi kecewa meski
mereka senyam-senyum juga. Saya belum bisa membahagiakan mereka dengan
tanda-tanda datangnya seorang anak. Saya telah mengecewakan mereka (?). Harus
diketahui untuk kalian wanita dan lelaki yang akan menikah, pertanyaan seperti
ini mempengaruhi psikologi istri dan kinerja ia dalam bekerja. Jadi para
wanita, bersiap-siaplah menahan emosi ya. Dan para lelaki, kalian harus
menenangkan istri kalian nanti. Hal sensitif seperti ini bisa mempengaruhi
hubungan suami-istri lhooo.
Ditambah lagi, di lingkungan
saya sedang banyak banget bayi-bayi baru dilahirkan. Waaaah bisa pas begini
suasanya membolak-balikkan hati.
Lalu jawaban dari pertanyaan
seputar kehamilan itu saya ganti, bukan lagi dengan “Belum, Bu,” melainkan
dengan “Do’akan saja diisi di waktu yang terbaik ya,” sambil senyum masih
dilebar-lebarkan.
Di waktu yang terbaik. Yap. Allah
Maha Mengetahui yang nyata dan ghaib. Allah Maha Pengurus semua makhlukNya.
Allah Maha Bijaksana tentang sesuatu di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Terhadap
kehamilan seorang istri pun, Allah Mengaturnya.
Mengapa Allah belum menitipkan
saya seorang anak? Apakah Allah belum percaya saya bisa mengurus anak? Apa saya
masih harus fokus pada kegiatan saya saat ini, sehingga nanti ketika sudah
stabil saya baru dititipkan anak oleh Allah?
Kalau melihat kondisi sekarang
sih, sepertinya argumen ketiga masuk akal. Mungkin ya. Kalau iya ... aaaahhh,
sungguh Maha Baik Allah. Kalau boleh curhat (hahaha) memang lagi ribet banget
nih kerjaan, sedang butuh ekstra perhatian saya. Bahkan suami saja jarang
diperhatikan, hehehe maaf ya sayang. Malam sudah capek duluan dan ngantuk, jadi
nggak bisa menemani suami yang harus kerja lembur sebulan ini. Uuuuuggh, sayang
kamu bangeeet *cium*
Sebagai istri pemula (hahaha,
iyalah, saya kan belum berpengalaman jadi istri), saya ingin tahu bagaimana
pendapat suami tentang anak. Lelaki terkeren di dunia saya itu menjawab, “Dengan
menjadi ayah, suami telah merasa bangga dan tenang karena telah ada generasi
penerusnya. Banyak ibadah-badah yang berhubungan dengan ayah-anak yang bisa
dilakukan. Kata mereka yang sudah menjadi ayah, kesempurnaannya itu tidak bisa
digambarkan. Bahagianya itu dobel. Punya istri. Punya anak. Nggak akan lagi
merasa payah mencari nafkah. Ada selalu dua sumber kebahagiaan di rumah yang
mengiasi hati.”
Saya memberi gambar cium
(hehehe iya cuman bisa kasih gambarnya, maklum, suami jauh di belantara sana). Lalu
suami membalas lagi sebelum akhirnya obrolan kami terhenti karena adzan magrib.
“Aku baru bisa membayangkan sementara ini. Berharap Allah mulai mau
mempercayakan titipannya pada kita.” Aamiin.
Tentang anak. Bagi saya, anak
tidak hanya berguna untuk menyenangkan keluarga dan hiasan kehidupan saja. Anak
itu adalah manusia lain di bumi ini yang nantinya harus bisa melaksanakan tugasnya
dari Allah yaitu menjadi khalifah di bumi dan menjalani kehidupannya sesuai
tujuan penciptaannya yaitu beribadah kepada Allah. Sungguh, sebenarnya berat
sekali lho tugas suami-istri jika nanti berubah gelar menjadi ayah-ibu. Mereka harus
bisa menjaga, mengurus, dan membinanya dengan baik dan sesempurna mungkin. Barang
yang dititipkan kepada orang lain, suatu saat akan diambil dan diminta
pertanggungjawabannya oleh si penitip. Begitu juga anak. Ayah dan ibu nantinya
akan ditanya oleh Allah tentang bagaimana cara mereka menjaga titipan Allah
berupa anak tersebut?
Bagi teman-temanku yang belum
menikah, persiapkan diri kalian untuk segala macam yang berhubungan dengan
pernikahan dan keluarga. Yang sudah menikah dan belum dikaruniai anak seperti
saya, yuk sama-sama kita meningkatkan kualitas diri agar jika menurut Allah
kita sudah siap, Allah akan menitipkan pejuang penegak agama Allah di waktu
yang terbaik. Aamiin.
Lucu sih ketika mendapat pesan
dari suami, “Kok tiba-tiba membicarakan anak?” setelah saya meminta, “Kalau
nanti punya anak, kita urus bareng-bareng ya sayang.”