Maret adalah bulan senja. Ia
tak tega meninggalkan siang. Tapi juga tidak mungkin melepas janji dengan
malam. Ia hanya sepuluh menit dari ujung sore. Datang pergi. Datang pergi. Ia
selayak penghulu, mengantarkan dua insan ke dunia baru. Mengayomi tidak sampai
sepuluh menit. Lalu ia pergi. Ke sepasang insan yang lain. Ia datang. Pergi
lagi. Datang dan pergi. Maret adalah Cak Nung. Mari saya perkenalkan dengan Cak
Nung.
Cak Nung adalah mamalia. Ia
manusia. Punya rambut yang sengaja ia biarkan meliar. Bukan bulu yang banyak
disangka anak sekolah dasar. Cak Nung bermata aneh. Teduh yang gersang. Atau
kebalik. Gersang yang teduh. Bola matanya tajam padahal lingkaran. Alisnya
tegas menyudutkan. Hidungnya mancung bengkok. Orang lain menyebutnya patah.
Saya mengejeknya mancung yang tidak konsisten. Cak Nung tertawa saja. Katanya,
“Masa hidung disamakan dengan pendirian?” Saya manggut-manggut meyakinkan. Ini
serius. Dua bulan terakhir ini menjalar segerombolan berewok di elip mukanya.
Saya tidak mengenali ada garis cukur di sana. Ah Cak Nung ini, apa-apa
dibiarkanya meliar. Entah sengaja atau malas. Tapi memang menegaskan kalau dia
manusia liar.
Cak Nung adalah manusia. Namun
manusia-manusia di sekitar saya tidak memanusiakannya. Bukan. Bukan. Cak Nung
bukannya tidak diperlakukan sebagai manusia. Hanya saja … hm … apa ya namanya?
Manusia-manusia di sekitar saya tidak menganggapnya manusia. Tapi dia juga
bukan manusia jelema.
“Dia itu benalu. Kamu tahu,
kan benalu?”
Tentu saja saya tahu. Kerjaan
saya selama di Desa Tugu, kan mencabut benalu.
“Nah, berarti kamu tahu maksudku.”
Saya megap-megap. Maksud apa
maksudnya? Emboh lah. Lain lagi
dengan gadis Cina yang dengannya saya berbagi bangku di halte Taman Siswa.
Gadis itu memanggilnya Monyet Gunung. Ada semu merah di pipinya yang perawan
dari bedak merah. Saya sih setuju kalau namanya Gunung, tapi kenapa harus
Monyet? Pertanyaan lainnya adalah bagaimana gadis Cina ini kenal Cak Nung?
Artiskah ia?
Bukan. Cak Nung bukan artis.
Ia hanya pemilik tulang rusuk Hawa yang gemar berelasi. Tapi hanya sebagai
pebisnis. Berelasi untuk mendapatkan bagian investasi.
Hanya satu dua orang saja yang
menyikapi Cak Nung seperti gadis Cina. Yang lainnya tidak memanusiakannya.
Bahkan ada yang memperingatkan saya, “Njani, kamu kayak nggak kenal laki-laki
lain saja. Kenapa harus dengan Cak Nung? Saya dua hari bersama dia saja
langsung menyerah.” Teman main saya mendengus, “Kamu ini cantik, ngajimu apik, jawa tulen. Carilah yang sedarah.
Laki-laki Jawa kan setia, mau susah, nggak akan ninggalin kamu. Masa depanmu
terjamin.” Lah, Cak Nung iki wong jowo
lho.
Orang-orang itu selalu saja
begitu. Mereka berkacamata kuda. Hanya melihat jalan dari satu sudut saja.
Lagipula, kok mereka menganggap saya terlalu jauh terhadap Cak Nung. Kami ini
hanya manusia yang kebetulan suka hal yang sama. Banyak kisah yang nyambung.
Cak Nung baik kok. Dan saya hanya ingin mengembalikan kemanusiaannya saja.
Hubungan kami ini ya biasa-biasa saja.
Saya senang kalau bersama Cak
Nung. Saya merasa aneh kalau manusia-manusia yang pernah bercengkrama dengannya
tidak merasakan hal yang sama. Apa pintu hati mereka tertutup? Mungkin
ditutup? Atau ditutup-tutupi biar tidak
dimasuki? Kenapa? Cak Nung, kan bukan pencuri. Ia, menurut saya, adalah tamu
yang ditunggu. Tidak apa-apa saya harus memukul es batu dan menghidangkan es
teh manis favoritnya sebagai pelepas lelah perjalanannya yang tidak pernah
berujung.
Sudahlah,
ini mungkin berlebihan. Nanti Cak Nung mengomeli saya. Ah padahal saya sedang
mengapungkan namanya biar terlihat ke permukaan. Yo wes, saya lanjut memperkenalkan Cak Nung ya.
Cak Nung |
Cak Nung itu sebenarnya nama
panggilan saya saja. Sama seperti benalu dan monyet gunung. Namun saya lebih
memanusia hehe. Cak itu bahasa Jawa Timuran. Maksud Cak adalah panggilan untuk
orang yang lebih tua. Lalu Nung saya ambil dari kerjaannya yang orang lain juga
tahu. Ia bernama sangat panjang. Panjangnya sepanjang bunyi bel sekolah ketika
sudah waktunya pulang, juga dipulangkan karena ada rapat guru. Bel pulang
sekolah yang dipencet empat kali. Namanya terdiri dari empat kata berbahasa
Arab. Artinya begitu berat. Sulit sekali menghapalnya.
Cak Nung lebih tua dari saya.
Guratan di bawah kantung matanya menunjukkan itu. Namun saya tidak tahu pasti
umurnya. Mungkin mendekati dua lima. Atau kurang. Saya tidak pernah
menanyakannya. Setiap kali saya mau bertanya hal-hal biasa, seperti tanggal
kelahiran, rumah, pekerjaan, Cak Nung selalu mengajak saya memutar menemukan
pertanyaan lain yang tidak biasa, seperti hak asasi, puncak gunung, kebudayaan,
dan perjalanan. Jadi untuk identitasnya, saya mengira-kira saja. Mengenalnya,
saya harus menerima segala kemungkinan.
Izinkan saya memutar film
lama. Pertama kali bertemu dengan Cak Nung, terik di Jalan Abdullah bin Nuh
melucuti punggung tangan saya. Berteduh di warung tegal, mata kami bertemu. Cak
Nung memandangi saya kesulitan menyendok bihun dalam belantara pakcoi asin yang
dipotong melintang. Saya menatap Cak Nung belingsatan menghabiskan tumis
jantung pisang. Setelah itu, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama
ke perbatasan.
Cak Nung doyan berjalan ke
rindang siang, menelusup di rimbun kelam malam. Cak Nung adalah hutan hujan
tropis. Cak Nung liar namun melankolis. Pada ketiak dahan pohon tua yang
menjuntai antara batang paru-parunya bersembunyi sarang lebah yang pasukannya
bisa membuatmu tunggang langgang tapi bermadu deras.
Dalam
setiap jejaknya di kota-kota juga di pucuk gunung yang hijau kemerahan, Cak
Nung meninggalkan nikmat yang mangsi, hutan sunyi, dan teduh trembessi. Melalui
ini, saya bermaksud menebar itu.
No comments:
Post a Comment