4/16/13

Cak Nung

Maret adalah bulan senja. Ia tak tega meninggalkan siang. Tapi juga tidak mungkin melepas janji dengan malam. Ia hanya sepuluh menit dari ujung sore. Datang pergi. Datang pergi. Ia selayak penghulu, mengantarkan dua insan ke dunia baru. Mengayomi tidak sampai sepuluh menit. Lalu ia pergi. Ke sepasang insan yang lain. Ia datang. Pergi lagi. Datang dan pergi. Maret adalah Cak Nung. Mari saya perkenalkan dengan Cak Nung.

Cak Nung adalah mamalia. Ia manusia. Punya rambut yang sengaja ia biarkan meliar. Bukan bulu yang banyak disangka anak sekolah dasar. Cak Nung bermata aneh. Teduh yang gersang. Atau kebalik. Gersang yang teduh. Bola matanya tajam padahal lingkaran. Alisnya tegas menyudutkan. Hidungnya mancung bengkok. Orang lain menyebutnya patah. Saya mengejeknya mancung yang tidak konsisten. Cak Nung tertawa saja. Katanya, “Masa hidung disamakan dengan pendirian?” Saya manggut-manggut meyakinkan. Ini serius. Dua bulan terakhir ini menjalar segerombolan berewok di elip mukanya. Saya tidak mengenali ada garis cukur di sana. Ah Cak Nung ini, apa-apa dibiarkanya meliar. Entah sengaja atau malas. Tapi memang menegaskan kalau dia manusia liar.

Cak Nung adalah manusia. Namun manusia-manusia di sekitar saya tidak memanusiakannya. Bukan. Bukan. Cak Nung bukannya tidak diperlakukan sebagai manusia. Hanya saja … hm … apa ya namanya? Manusia-manusia di sekitar saya tidak menganggapnya manusia. Tapi dia juga bukan manusia jelema.

“Dia itu benalu. Kamu tahu, kan benalu?”

Tentu saja saya tahu. Kerjaan saya selama di Desa Tugu, kan mencabut benalu.

“Nah, berarti kamu tahu maksudku.”

Saya megap-megap. Maksud apa maksudnya? Emboh lah. Lain lagi dengan gadis Cina yang dengannya saya berbagi bangku di halte Taman Siswa. Gadis itu memanggilnya Monyet Gunung. Ada semu merah di pipinya yang perawan dari bedak merah. Saya sih setuju kalau namanya Gunung, tapi kenapa harus Monyet? Pertanyaan lainnya adalah bagaimana gadis Cina ini kenal Cak Nung? Artiskah ia?

Bukan. Cak Nung bukan artis. Ia hanya pemilik tulang rusuk Hawa yang gemar berelasi. Tapi hanya sebagai pebisnis. Berelasi untuk mendapatkan bagian investasi.

Hanya satu dua orang saja yang menyikapi Cak Nung seperti gadis Cina. Yang lainnya tidak memanusiakannya. Bahkan ada yang memperingatkan saya, “Njani, kamu kayak nggak kenal laki-laki lain saja. Kenapa harus dengan Cak Nung? Saya dua hari bersama dia saja langsung menyerah.” Teman main saya mendengus, “Kamu ini cantik, ngajimu apik, jawa tulen. Carilah yang sedarah. Laki-laki Jawa kan setia, mau susah, nggak akan ninggalin kamu. Masa depanmu terjamin.” Lah, Cak Nung iki wong jowo lho.

Orang-orang itu selalu saja begitu. Mereka berkacamata kuda. Hanya melihat jalan dari satu sudut saja. Lagipula, kok mereka menganggap saya terlalu jauh terhadap Cak Nung. Kami ini hanya manusia yang kebetulan suka hal yang sama. Banyak kisah yang nyambung. Cak Nung baik kok. Dan saya hanya ingin mengembalikan kemanusiaannya saja. Hubungan kami ini ya biasa-biasa saja.

Saya senang kalau bersama Cak Nung. Saya merasa aneh kalau manusia-manusia yang pernah bercengkrama dengannya tidak merasakan hal yang sama. Apa pintu hati mereka tertutup? Mungkin ditutup?  Atau ditutup-tutupi biar tidak dimasuki? Kenapa? Cak Nung, kan bukan pencuri. Ia, menurut saya, adalah tamu yang ditunggu. Tidak apa-apa saya harus memukul es batu dan menghidangkan es teh manis favoritnya sebagai pelepas lelah perjalanannya yang tidak pernah berujung. 

Sudahlah, ini mungkin berlebihan. Nanti Cak Nung mengomeli saya. Ah padahal saya sedang mengapungkan namanya biar terlihat ke permukaan. Yo wes, saya lanjut memperkenalkan Cak Nung ya.

Cak Nung


Cak Nung itu sebenarnya nama panggilan saya saja. Sama seperti benalu dan monyet gunung. Namun saya lebih memanusia hehe. Cak itu bahasa Jawa Timuran. Maksud Cak adalah panggilan untuk orang yang lebih tua. Lalu Nung saya ambil dari kerjaannya yang orang lain juga tahu. Ia bernama sangat panjang. Panjangnya sepanjang bunyi bel sekolah ketika sudah waktunya pulang, juga dipulangkan karena ada rapat guru. Bel pulang sekolah yang dipencet empat kali. Namanya terdiri dari empat kata berbahasa Arab. Artinya begitu berat. Sulit sekali menghapalnya.

Cak Nung lebih tua dari saya. Guratan di bawah kantung matanya menunjukkan itu. Namun saya tidak tahu pasti umurnya. Mungkin mendekati dua lima. Atau kurang. Saya tidak pernah menanyakannya. Setiap kali saya mau bertanya hal-hal biasa, seperti tanggal kelahiran, rumah, pekerjaan, Cak Nung selalu mengajak saya memutar menemukan pertanyaan lain yang tidak biasa, seperti hak asasi, puncak gunung, kebudayaan, dan perjalanan. Jadi untuk identitasnya, saya mengira-kira saja. Mengenalnya, saya harus menerima segala kemungkinan.

Izinkan saya memutar film lama. Pertama kali bertemu dengan Cak Nung, terik di Jalan Abdullah bin Nuh melucuti punggung tangan saya. Berteduh di warung tegal, mata kami bertemu. Cak Nung memandangi saya kesulitan menyendok bihun dalam belantara pakcoi asin yang dipotong melintang. Saya menatap Cak Nung belingsatan menghabiskan tumis jantung pisang. Setelah itu, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama ke perbatasan.

Cak Nung doyan berjalan ke rindang siang, menelusup di rimbun kelam malam. Cak Nung adalah hutan hujan tropis. Cak Nung liar namun melankolis. Pada ketiak dahan pohon tua yang menjuntai antara batang paru-parunya bersembunyi sarang lebah yang pasukannya bisa membuatmu tunggang langgang tapi bermadu deras.

Dalam setiap jejaknya di kota-kota juga di pucuk gunung yang hijau kemerahan, Cak Nung meninggalkan nikmat yang mangsi, hutan sunyi, dan teduh trembessi. Melalui ini, saya bermaksud menebar itu.

No comments:

Post a Comment