Kuliah Perubahan Sosial pernah menjadi kuliah yang paling abstrak dan membosankan yang saya dan Arini ikuti. Di sela ocehan dosen menjelaskan berbagai teori sistem dunia, kami mengoceh tentang bahasan lain: kultur menggambar.
“Kenapa waktu kita kecil kita selalu menggambar dua gunung, di tengahnya ada matahari, di atas matahari ada garis-garis lurus sebagai arah sinar, di bawah gunung ada sawah kotak-kotak dan jalan. Terus di kasih burung kayak huruf M dan dua awan di dekat puncak gunung?” Saya mengenang sambil berbisik takut ketahuan mengobrol oleh dosen.
“Ih kalo Rini nggak gitu loh. Kalo Rini suka gambar pantai terus ada pohon kelapanya,” sanggah Arini sambil menggambar pantai di buku catatan kuliahnya.
Dari obrolan tidak penting itu kami mengetahui satu hal yang penting: lingkungan ataupun latar belakang budaya mempengaruhi objek yang kita gambar. Saya yang sedari kecil sudah dikenalkan gunung oleh Ayah dan setiap hari melihat dua gunung adidaya di Bogor akan menggambar gunung sebagai tugas sekolah TK. Arini yang hidup dan besar di daerah pesisir, ya pasti menggambar pantai dan pohon kelapa. Orang gunung akan menggambar gunung. Orang pantai akan menggambar pantai. Dan bentuknya pasti itu-itu saja. Hampir di setiap tugas anak-anak.
Nggak percaya? Adik-adik saya di Rumpin bisa memperkuat teori saya dan Arini.
Jum’at kemarin, kegiatan mengaji di Kampung Cibitung kurang tenaga pengajar. Ibu Neneng lagi kondangan di Jawa. Kakak-kakak yang mengajar hanya saya dan Kak Imam. Kakak-kakak yang biasa mengajar lagi sibuk, maklumlah masih mahasiswa aktif. Ada sih Kak Dina, tapi datangnya telat karena baru selesai praktikum. Lagipula, kedatangannya ke Rumpin bukan untuk mengajar, melainkan mau meneliti perubahan struktur masyarakat pasca konflik agraria di tahun kelam dulu. Meksipun dibantu Ibu Mimih, tetap saja banyak adik-adik yang tidak ‘kepegang’. Alhasil saya dan Kak Imam bolak-balik masuk keluar mushola untuk mengajar. Tujuh puluhan anak diajar dua orang bikin gempor juga -.-'
“Kenapa waktu kita kecil kita selalu menggambar dua gunung, di tengahnya ada matahari, di atas matahari ada garis-garis lurus sebagai arah sinar, di bawah gunung ada sawah kotak-kotak dan jalan. Terus di kasih burung kayak huruf M dan dua awan di dekat puncak gunung?” Saya mengenang sambil berbisik takut ketahuan mengobrol oleh dosen.
“Ih kalo Rini nggak gitu loh. Kalo Rini suka gambar pantai terus ada pohon kelapanya,” sanggah Arini sambil menggambar pantai di buku catatan kuliahnya.
Dari obrolan tidak penting itu kami mengetahui satu hal yang penting: lingkungan ataupun latar belakang budaya mempengaruhi objek yang kita gambar. Saya yang sedari kecil sudah dikenalkan gunung oleh Ayah dan setiap hari melihat dua gunung adidaya di Bogor akan menggambar gunung sebagai tugas sekolah TK. Arini yang hidup dan besar di daerah pesisir, ya pasti menggambar pantai dan pohon kelapa. Orang gunung akan menggambar gunung. Orang pantai akan menggambar pantai. Dan bentuknya pasti itu-itu saja. Hampir di setiap tugas anak-anak.
Nggak percaya? Adik-adik saya di Rumpin bisa memperkuat teori saya dan Arini.
Jum’at kemarin, kegiatan mengaji di Kampung Cibitung kurang tenaga pengajar. Ibu Neneng lagi kondangan di Jawa. Kakak-kakak yang mengajar hanya saya dan Kak Imam. Kakak-kakak yang biasa mengajar lagi sibuk, maklumlah masih mahasiswa aktif. Ada sih Kak Dina, tapi datangnya telat karena baru selesai praktikum. Lagipula, kedatangannya ke Rumpin bukan untuk mengajar, melainkan mau meneliti perubahan struktur masyarakat pasca konflik agraria di tahun kelam dulu. Meksipun dibantu Ibu Mimih, tetap saja banyak adik-adik yang tidak ‘kepegang’. Alhasil saya dan Kak Imam bolak-balik masuk keluar mushola untuk mengajar. Tujuh puluhan anak diajar dua orang bikin gempor juga -.-'
Ketika sedang mengajari yang kecil-kecil, yang besar-besar (apa sih ini besar kecil?) saya minta membuat kelompok lalu mereka menggambar ciptaan Allah SWT yang ada di sekitar mereka. Wah, mereka antusias sekali mencari-cari teman. Menurut saya hal ini penting bagi mereka supaya mereka bisa belajar bekerja sama, menyatukan berbagai pendapat untuk menciptakan karya yang bagus. Adik-adik berebutan minta kertas gambar yang saya bagikan. Ludeslah buku sketsa saya. Yang tidak kebagian kertas, saya minta teman yang lain membagi dua kertasnya. Yang punya inisiatif, mereka bertanya, “Kak, aku boleh pakai buku tulis, ya?” Aku tersenyum, “Boleh, kertas apapun yang penting kalian menggambar.” Ketika yang kecil-kecil selesai dengan tugas menulisnya, mereka juga minta ikutan menggambar. Yo wes, jadilah sore itu diadakan kelas menggambar. Ada yang menggambar berkelompok, ada juga yang sendiri-sendiri. Karena alat gambar di sekolah non-formal itu terbatas, mereka berbagi pensil warna dan krayon. Meskipun saya membawa alat gambar dari rumah, tetap saja kurang. Kelas menggambar sore itu juga mengajarkan pentingnya berbagi. Alhamdulillah.
“Kak, manusia ciptaan Allah, kan?” tanya adik kecil. Ia menatap saya lugu. Saya mengangguk imut tapi tidak berhasil. Hahaha.
“Kak, pohon bambu ciptaan Allah, kan?” Saya mengangguk lagi. “Ayo, apalagi coba ciptaan Allah yang ada disini?”
“Kak, aku mau gambar kambing aja.” Itu kata Rani, adik perempuan yang tingkahnya tomboy banget, kayak preman. Kerjaannya ngajak ribut. Lalu dia ngeloyor menuju rumah Ibu Mimih. Di depan rumah adiknya Ibu Neneng itu memang ada kandang kambing. Mungkin Rani ingin menggambar langsung di depan objek gambarnya. Bah, macam pelukis saja kau ^^
“Yang gambarnya bagus, nanti dikasih hadiah, deh,” seru saya. Kelas bersorak. Kak Imam berteriak, “Nih, kakak kasih hadiah.” Dia mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang masih dibungkus. Walah, saya yang dadakan mengadakan lomba gambar, dia sudah menyiapkan hadiahnya duluan. Bagus deh, adik-adik jadi makin semangat.
Di saat adik-adik menggambar, saya bisa istirahat sebentar. Kak Imam sibuk menelepon Kak Dina yang nyasar mencari sekolah kita. Dia cari pinjaman motor untuk menjemput Kak Dina. Hahaha berasa di pelosok banget.
Saya perhatikan sekilas, banyak adik-adik yang menggambar gunung. Hanya saja objek dan komposisinya lebih beragam. Mereka tidak hanya menggambar gunung. Gambar mereka bisa saya bilang lebih imajinatif dan kaya akan objek. Ada yang gambar pohon dengan berbagai bentuk, jalan yang bersimpang, lampu lalu lintas, rumah sekaligus pagarnya dengan sudut pandang yang tidak masuk akal. Bahkan ada yang menggambar sapi berwarna merah. Hahaha. Benar, kan teori saya dan Arini, kalau orang gunung akan menggambar gunung. Yap, teori kami berhasil dibuktikan. Yuhuu!
“Kak, manusia ciptaan Allah, kan?” tanya adik kecil. Ia menatap saya lugu. Saya mengangguk imut tapi tidak berhasil. Hahaha.
“Kak, pohon bambu ciptaan Allah, kan?” Saya mengangguk lagi. “Ayo, apalagi coba ciptaan Allah yang ada disini?”
“Kak, aku mau gambar kambing aja.” Itu kata Rani, adik perempuan yang tingkahnya tomboy banget, kayak preman. Kerjaannya ngajak ribut. Lalu dia ngeloyor menuju rumah Ibu Mimih. Di depan rumah adiknya Ibu Neneng itu memang ada kandang kambing. Mungkin Rani ingin menggambar langsung di depan objek gambarnya. Bah, macam pelukis saja kau ^^
“Yang gambarnya bagus, nanti dikasih hadiah, deh,” seru saya. Kelas bersorak. Kak Imam berteriak, “Nih, kakak kasih hadiah.” Dia mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang masih dibungkus. Walah, saya yang dadakan mengadakan lomba gambar, dia sudah menyiapkan hadiahnya duluan. Bagus deh, adik-adik jadi makin semangat.
Di saat adik-adik menggambar, saya bisa istirahat sebentar. Kak Imam sibuk menelepon Kak Dina yang nyasar mencari sekolah kita. Dia cari pinjaman motor untuk menjemput Kak Dina. Hahaha berasa di pelosok banget.
Saya perhatikan sekilas, banyak adik-adik yang menggambar gunung. Hanya saja objek dan komposisinya lebih beragam. Mereka tidak hanya menggambar gunung. Gambar mereka bisa saya bilang lebih imajinatif dan kaya akan objek. Ada yang gambar pohon dengan berbagai bentuk, jalan yang bersimpang, lampu lalu lintas, rumah sekaligus pagarnya dengan sudut pandang yang tidak masuk akal. Bahkan ada yang menggambar sapi berwarna merah. Hahaha. Benar, kan teori saya dan Arini, kalau orang gunung akan menggambar gunung. Yap, teori kami berhasil dibuktikan. Yuhuu!
Sapi Merah karya Anis |
Amsori mendatangi saya sambil
senyam-senyum. “Nih, Kak udah beres.”
“Ha? Cepat banget.”
“Itu mah gambar yang
dulu-dulu, Kak. Tadi Amsori sobek buku gambarnya,” timpal Rani dengan nada
ejeknya yang khas. Ngejek banget dah ^^
Dengan satu koor tanpa
konduktor, kelas ber-woo ria. “Wooo, curaaaang.”
Saya tertawa. “Ya sudah ya
sudah. Nanti kakak tandain ya yang pakai gambar dulu-dulu. Nanti nilainya kakak
kurangi.”
Amsori masa bodoh. Yang
penting selesai. Huuuu.
“Eh, kamu kok gunungnya ada
kuning-kuningnya gitu sih? Apa ini?” Saya bingung melihat gambarnya yang kaku.
Amsori menggambar gunung pakai penggaris. Jadilah gunung yang ia punya lancip
banget. Kalo Kak Imam yang notabene-nya doyan naik gunung, pasti kesakitan deh
ngaso di atas puncak gunung buatan Amsori. Hahaha patut dicoba.
“Ih
itu gunung emas, Kak,” ujarnya bangga. Ada gitu ya gunung emas? Yo wes,
terserah imajinasi tuh bocah aja dah.Gunung Emas karya Amsori |
Lain lagi dengan gunung buatan Rohadi. Di puncak
gunungnya ada bagian yang ia beri warna oranye. Waktu saya tanya itu maksudnya
apa, dia menjawab, “Itu gunung berapi, Kak.” Hihihi. Kelima gunung yang ia
gambar ada apinya. Wah, bencana besar tuh ^^
Gunung Berapi karya Rohadi |
Pukul 3 sore lomba menggambar
dadakan selesai. Beberapa adik sudah menyelesaikan gambarnya. Hasil gambar
cowok-cowok saya kasih ke Kak Imam, biar dia yang memilih siapa juaranya. Toh
hadiahnya sudah ada.
Setelah
ribet banget menyuruh adik-adik duduk, saya mengumumkan juara gambar kategori
laki-laki solo, alias menggambar sendiri, tidak berkelompok. Nama aslinya Yani.
Saya bingung karena yang maju mengambil hadiah adalah laki-laki. Eh, benar deng
adik itu namanya Yani. “Tapi sering dipanggil Hejo,” jelas Kak Imam. Yani malu-malu
ke depan. Ia saya anggap si sulung karena umurnya paling tua di antara adik
lainnya. Mungkin umur mempengaruhi kualitas gambar kali ya? Hehehe.
Juara kategori Laki-laki Solo karya Yani |
“Kenapa dia juaranya, Kak?”
“Soalnya perspektifnya bla bla
bla bla,” jelas Kak Imam. Aduh, nggak ngerti deh saya mah kalau udah bicara
perspektif. Hahaha. Tapi memang gambar Yani cukup bercerita sih. Selamat ya,
Yani. Hadiah dari Kak Imam dijaga baik-baik ya ^^
“Yang lain belum dinilai ya.
Kira-kira mau hadiah apa?” Kelas riuh dengan berbagai permintaan hadiah. Rumah,
kerudung, tas, mobil, juz amma, gelang. Apapun disebut. “Yang laki-laki dikasih
boneka aja, Kak.” Satu suara dari geng MMC alias Malahpar Motor Celub berteriak
disambut cekikikan teman-temannya. “Hei, masa laki-laki minta boneka?”
Juara kategori Perempuan Solo karya Anisa Putri |
Gambar ini patut menjadi juara karena gambar pohonnya
variatif. Bentuk bunganya juga lucu. Selamat ya Anisa yang suka sms-an sama
saya. Hahaha. Tenang tenang, nggak ada konspirasi kok ^^
Juara kategori Laki-laki Kelompok karya Sanusi, Rian, Wahyu, dan Gendon |
Ini gambar out of the box banget. Tidak ada yang
menggambar gunung dan pantai seperti mereka. Salut deh. Tapi kenapa ikannya
sendirian gitu?
Juara kategori Perempuan Kelompok karya Nurul Laela, Aida Indah Lestari, Siti Sulastri, dan Nur Pitriah |
Gambar ini juara banget!
Mataharinya beda dengan matahari-matahari yang digambar kebanyakan adik-adik.
Matahari mereka tidak menyembul di antara dua gunung, tetapi dihalangi oleh
awan. Menarik! Gambar pohonnya juga banyak. Bahkan ada gambar monyet dan
jerapahnya. Wah, penuh dengan ciptaan Allah deh. Sepertinya mereka berhasil
menyatukan berbagai ide dengan baik. Mantaaaap!
Gunung Woles karya Yoga |
Selain gunung, ada berbagai gambar lagi yang dibuat.
Ada yang gambar meniru buku bacaan. Bagus sih, tapi kata Kak Imam, “Kurang
imajinatif, bukan karya sendiri.” Oke deh kakak. Lalu ada juga yang menggambar
Hatake Kakashi mengenakan kemeja. Hihihi.
Gambar tiruan karya Tuki |
Hatake Kakashi karya Enpi |
Puluhan gambar lainnya |
Di antara kertas gambar terselip satu kertas yang bikin saya terawa. Nih kayak foto di bawah. Hahaha. Tetap ya laki-laki itu mau hadiah boneka. Halaaaah~
Surat Kaleng err -.-' |
Lagi asyik memilih juara gambar, saya menemukan satu gambar buatan adik saya. Gambarnya unik banget. Hei, dik, unik itu bahasa halusnya aneh, ya, hehehe. Saya bilang ia menggambar pohon ubur-ubur. Adik saya menyanggah, “Bukan, itu pohon Avatar biru-biru itu loh.” Ah ya saya ingat. Di film Avatar biru-biru (bukan Avatar the Legend of Aang yang botak ya) ada pohon sakral yang dikeliling ubur-ubur terbang. Nah, adik saya mencoba mengkombinasikan keduanya. Hm … boleh lah. Tapi kamu jangan minta hadiah, ya?
Pohon Avatar Biru-biru karya Faris |
Eit, saya juga tidak mau ketinggalan. Sudah lama nih tidak menggambar. Ada cat air sisa di kamar. Coret-coret bentar deh mau menandingi gambar sapi merah. Saya menggambar burung merah. Hahaha, iya iya gambar saya polos banget, nggak ada embel-embelnya. Kalah deh sama gambarnya adik-adik di Rumpin. Kakinya aja bengkak sebelah -.-'
Burung Merah karya saya |
Kelas menggambar dadakan Jum’at itu seru sekali. Gambar yang dibuat mengintrepetasikan kultur daerah si penggambar. Mau lah saya kapan-kapan ke Tembilahan (Indragiri Hilir, Riau) lalu meminta adik-adik di sana menggambar. Gambar pantai seperti apa ya yang akan mereka buat?