Hahaha ini skip
banyak peristiwa banget nih, dari tulisan Merantau langsung loncat ke Pulang
Kampung. Berasa merantaunya cuman sehari. Hehehe sebenarnya banyak banget
kejadian seru selama kami merantau. Apalagi suami tukang jalan-jalan, jadilah
sang istri ini suka diajak kemana-mana. Niatnya mau diceritakan disini, tapiiii
nanti ya kapan-kapan entah kapan ^^
Setelah merasakan
juga yang namanya merantau, saya baru sadar ternyata rumah atau kampung bisa
juga dikangenin. Biasanya dulu mau ngobrol sama orangtua atau pun isengin adik
bisa asal saya lakukan. Tapi sekarang? Mau dengar suara keluarga saja harus
beradu silat dengan sinyal dan pulsa hehehe.
Dan bulan Ramadhan
menjadi yang paling ditunggu-tunggu karena ada tradisi mudik alias pulang
kampung yang nggak bisa dilewatkan begitu saja oleh para perantau. Alhamdulillah
rejeki Allah kami bisa ikutan mudik.
Rencana mudik ini
sudah tersusun jauh sebelum saya hamil. Dan timbul perasaan worry karena harus
mudik ketika hamil muda. Kata kawan-kawan sih lebih baik jangan. Tapi tiket
sudah dibeli, dan kapan lagi kami bisa pulang kampung? Akhirnya ibu hamil dan
bapak hamil (hehehe *pegang perut suami*) tetap nekat untuk berangkat mudik.
Empat jam sebelum
travel datang, saya drop banget. Setelah seharian membersihkan rumah dan
menyiapkan bawaan mudik, badan ini tak kuasa lagi untuk bergerak. Pandangan menguning.
Kepala pusing. Suami dan rumah kami seolah berputar-putar. Saya berhenti
memotong sayur untuk buka puasa dan suami yang ambil alih memasak
(alhamdulillah suami jago juga urusan gituan, biasa masak kalo naik gunung
soalnya – eits, ini pelajaran buat calon suami nih, jangan cuman istri yang
bisa masak ya). Akhirnya saya diantar suami ke kamar untuk rebahan. Tapi nggak
lama, saya muntah berkali-kali. Uuuuggh parah banget deh itu. Nggak pernah
selama hamil saya sepayah itu. Sekali muntah, suami bersihkan, eh nggak lama
muntah lagi, dibersihkan lagi, muntah lagi, huuuuaaaaa. Mana nanti malam mau
perjalanan jauh pula. Bisa nggak ya?
“Kita tunda aja
pulangnya. Tunggu kamu mendingan,” kata suami mengelus kepala.
“Tapi tiket
pesawatnya?” Saya merasa bersalah.
“Nanti dicari lagi. Yang
penting kamu sehat dulu.”
Tetap saja saya tidak
mau banyak uang terbuang hanya karena saya muntah. “Say,” suara saya parau. “Travel
nggak ada yang lebih malam ya? Biar aku bisa istirahat sebentar dan tetap pergi
malam ini.”
Mau mendekati waktu
berbuka, suami cari mobil travel lain yang akan membawa kami ke Kota Jambi. Pengen
banget peluk suami saat itu. Cekatan dan membantu banget. Tapi katanya semua
travel berangkat paling malam jam 8. Terpaksa saya harus menguatkan diri
berangkat sesuai jadwal semula. Saya elus perut untuk saling menguatkan dengan
janin.
Lima jam perjalanan
menuju Jambi terlewati dengan payah. Pusing mual dan muntah di jalan. Ya ampun
ibu hamil pulang kampung gini amat dah hahaha, soalnya saya termasuk nggak suka
mabok perjalanan. Mana jalanan jelek banget, abang supir bawa mobilnya ngebut, musik
di mobil dinyalakan hampir memecah gendang telinga, ingin sekali rasanya
nonjokin pak supir. Tapi apa daya. Yang bisa saya lakukan hanya merutuk diri
dan membungkus mulut dengan kantong plastik. Huuuueeekk!
Sampai di Kota Jambi hampir
jam 2 pagi. Bandara Sultan Thaha masih tutup. “Kita manjat pagar ya, aku selalu
begitu kalo pergi,” ajak suami. Whaaat?! Setelah terguncang di travel, ibu
hamil ini harus manjat pula kayak pencuri. Duuuh Gusti, baik nian nasib awak
nih -_____- Mau bagaimana lagi? Berhasil
manjat, kami tidur dulu di mushola bandara menunggu waktu sahur. Haaai dedek
bayi, apakah kamu baik-baik sajaaa? ^^
Jam 5 pagi kami check
in. Perjalanan naik pesawat tak kalah payahnya. “Tuh simpan kantung muntahnya,”
suruhnya sambil tersenyum mengejek. Aaaakk kalo udah sehat, pengen banget
acak-acak rambut suami >.<
go home |
Menuju pukul 8 pagi
kami tiba di Jakarta. Akhirnyaaaa setelah sekian lama, ketemu juga
gedung-gedung pencakar langit. Nungguin damri Soekarno Hatta-Bogor kayak
nungguin arak-arak penganten kesultanan, lamaaaa beneeer. Panas pula. Kepala pusing.
Perut lapar. Sempurna sudah. Namun kami sampai juga di Bogor. “Akhirnya nggak
lihat pohon karet doang,” kata suami sumringah. Kangen dengan rimbun pohon pinggir
jalan khas Kota Hujan ini terbayar lunas nas nas!
Tapi pulang tidak
dimaknakan sekedar kembali ke rumah dan selonjoran seenak kaki kita. Mudik di
Indonesia digambarkan sebagai peristiwa silaturahim berkepanjangan yang insya
Allah memperlancar rejeki kita sesuai ucapan Rasul. Selain ke Bogor, janin di
dalam perut punya pengalaman mudik pertama yang seru banget. Setelah ini ada
edisi perjalanan ke Jawa Timur, sekitar Surabaya, Kediri dan Kertosono. Ditunggu
ya kisah janin muda itu berkelana. Hehehe. Emaknya mau nyuci baju dulu *IRT
kembali ke fitrah* ^^