“Apa yang paling membuatmu
bahagia?”
Ia sontak mengalihkan
pandangan dari buku tebalnya yang sedang ia baca menuju ke mataku. Iya aku
sangat yakin, ia menatap mataku saat itu. Suatu peristiwa langka bisa menangkap
tatapannya tepat di korneaku. Namun tidak sampai hitungan ketiga, ia sudah
kembali menyibukkan diri dengan bukunya. Kukira ia akan kembali membaca dan
tidak memperdulikan pertanyaanku. Kulihat ia melipat ujung halaman buku dan
menutupnya pelan-pelan. Satu pertanyaan tiba-tiba itu ternyata mampu membuatnya
kembali ke dunia nyata, sebuah halte bus yang penuh orang pada pukul lima
menuju petang.
Ia tidak kembali bertanya, “Untuk
apa bertanya seperti itu?” atau “Kenapa?” Ia terlihat sedang berpikir.
“Es sirup cocopandan di rumah
ketika siang sedang terik-teriknya.” Sekilas terlihat samar, ada lengkung
menyentuh pipi yang tersungging di bibirnya.
“Sirup?”
Sebagai perempuan yang
menurutku sangat kompleks dan filosofis, jawabannya di luar anggapanku.
Terdengar simple dan main-main. Tapi jika ia harus menghentikan aktivitas
membacanya hanya untuk memberi jawaban semudah itu, kurasa itu bukan jawaban
yang harus kuremehkan.
“Sebenarnya ada banyak hal di
dunia ini yang membuatku bahagia.” Nah, dia kembali pada kompleksitas yang tak
bisa dipisahkan dari urat nadinya. “Kopi dengan sedikit gula ...”
“Kutebak itu jawabanmu. Ternyata
hanya sirup.”
Ia hampir tertawa, lalu
buru-buru menyelesaikan kalimatnya yang kupotong. “ ... membaca buku,
meneropong bintang, mengajar, dan banyak hal lainnya.”
“Dan sirup mengalahkan hal
mulia seperti mengajar?” Bahkan yang kuterka hal yang membuatnya bahagia adalah
yang menjadi alasan ia hidup pun bukan nomor pertama yang membuatnya bahagia.
“Hei, jangan salah. Coba kau
bayangkan jika berada di tengah gurun yang sangat panas lalu kamu menemukan
sebuah telaga. Beneran. Bukan fatamorgana. Betapa membahagaiakannya itu, kan?”
Aku lantang tertawa. “Tak
perlu jauh-jauh ke gurun. Mereka yang kehabisan minum dan sangat lelah mendaki
gunung, akan rela memberikan seluruh harta yang ia punya demi seteguk air.”
Ia menjentikkan jarinya. “Nah,
seperti itu pula aku.”
Setahun berlalu setelah
mengetahui namanya tak membuatku betul-betul mengenalnya secara utuh. Ada banyak
hal ternyata yang tak ia kemukakan setelah ratusan percakapan yang menurutnya
tak biasa ia lakukan dengan orang lain. Aku ingin sekali mengetahui semuanya.
“Hidup di hutan. Itu kan yang
membuatmu bahagia?”
Tak perlu aku mengangguk, ia
sendiri yang memberitahu alasannya. “Orion, empat tahun kau hidup bahkan tak
tahu presiden sudah berganti, tak bisa kah kau menyudahi ini?”
Pertanyaanku ternyata
menjebakku. Hanya perempuan itu yang bisa membuatnya begitu. Bus yang kami
tunggu tetap belum datang. Ingin rasanya aku berlari ke terminal dan memarahi
kenek yang gemar sekali berlama-lama mengetem padahal yang ia tunggu tak jauh
di depan dari tempatnya menunggu.
“Aku sedang berusaha. Tapi aku
tak bisa meninggalkannya.”
“Kamu bahkan nggak tahu di
belahan hutan mana ia berada sekarang.” Sebuah palu besar seolah dihujam ke
kepalaku. “Erga nggak minta kamu melayatnya setiap detik, Yon.” Nadanya mulai
meninggi.
“Aira, siapa kamu?!” Kalau
sudah bahasan begini, aku tak tahan lagi.
Ia bergeser menjadi lebih
menjauhi. “Kamu butuh hidup.”
“Aku bisa makan dan minum di
hutan. Aku jarang sakit. Aku hidup, Ra.” Aku mendekat berusaha meminta maaf.
Aku sadar intonasiku tak selayaknya diucapkan kepadanya.
“Gunung itu sudah jadi kuburan
raksasa buat Erga. Kamu mau apa lagi?”
“Setidaknya aku ingin memegang
tangannya dan meminta maaf.”
Mungkin menurut kita takdir
yang menimpa seseorang adalah karena campur tangan kita. Yang terjadi pada
Erga, selalu kau anggap karena kesalahanmu. Salah, Orion. Takdir sepenuhnya hak
Tuhan. Bukan karena kita, melainkan melalui kita. Seorang pengemis bisa
mendapatkan setengah juta dalam seminggu bukan karena sedekah kita. Itu karena
kasih sayang Tuhan diberikan kepadanya melalui tangan kita. Ada bagian rejeki
orang lain dari rejeki yang kita dapat. Perantara adalah tugas kita. Tentang
Erga, kamu nggak bisa terus menyalahkan dirimu sendiri, Orion.” Ada sesak di
akhir kalimatnya.
Sebuah bus umum yang kami
tunggu akhirnya datang juga. Sebelum ulat besi itu membawanya kembali ke rumah
yang menyajikan hal yang membuatnya bahagia, sempat kutarik tasnya dan
menyisakan diam hingga seminggu lamanya.
“Lalu kenapa harus aku yang
menjadi perantara takdirnya meninggal, Ra? Mengapa hal yang membuatku menderita
begini memaksaku bahagia? Hampir setiap bulan aku membawa mayat turun dari
gunung, menurutmu mengapa aku masih bisa bertahan dengan kematian yang selalu
kubawa di punggungku?”
Tak ada sepatah kata pun dari
mulutnya. Ucapan salam perpisahan pun tidak kudengar.
“Ingin sekali aku mengucapkan
hutan semudah kamu mengucapkan es sirup.”
- ide nulis ini lewati begitu aja setelah meneguk segelas sirup cocopandan penghilang mual setelah makan, bahagia banget itu ^^ hal kecil memang mampu membuat kita bersyukur jika kita jeli ya, hidup Aira ^^ -