Rumah kami cukup
besar untuk diisi oleh dua manusia. Lelaki kelas 2 SMA yang kusebut diriku, dan
perempuan cantik yang selalu kupanggil Umi. Tetangga kami memanggilnya Bu
Lastri. Harusnya ada satu lelaki lagi. Kupanggil Abi. Namun wajah beliau hanya
tersenyum lebar di dalam kotak berkaca yang kusebut pigura foto. Jasadnya sudah
tidak di rumah ini lagi. Mungkin sekarang sedang dimakan cacing tanah. Tapi kuharap
tubuhnya masih segar bugar, seperti terakhir kali kami bertiga mendaki Gunung
Pangrango. Kuyakin, kumpulan otot yang kekar itu pasti masih terlihat keren meski
sudah dicicipi ribuan serangga tanah pemakaman.
Saking besar dan
sepinya rumah kami, segala suara mudah saja terdengar. Blender hadiah
pernikahan menderu setiap pagi. Saat belum ada suara lain yang terdengar. Jika
banyak yang mengatakan ayam yang membangunkan manusia dengan kokokannya. Di rumah
kami, Umi membangunkan ayam ternak Abi dengan deru blendernya. Sebelum pukul 6,
dua gelas jus wortel sudah tersaji di meja makan kami bersama nasi goreng keju
dan roti bakar.
Selain deru mesin
pembuat jus, detak detik jam dan air keran yang mengucur di bak mandi yang baru
saja dibersihkan Umi setiap Sabtu pun gampang sekali terdengar. Semua aktivitas
rumah yang menghasilkan suara mengisi kekosongan tiap sudut di rumah kami yang
sepi. Di antara semua jenis nada yang ada di rumah, aku menyukai dua gelombang
bunyi yang keluar dari bibir tipis Umi yang tampak manis meski tanpa lipstik:
lantunan qira’at Al Qur’an dan sedu tangisan Umi.
Mulai dari umurku dua
tahun, aku senang sekali menggelayut di belakang punggung Umi ketika Umi
membaca Al Qur’an. Aku menarik-tarik kerudung warna lautnya. Aku membolak-balik
halaman Al Qur’an yang terlihat sangat aneh di mataku saat itu, seperti
kumpulan sandi yang mampu memecahkan permasalahan hidup. Aku mengusik Umi
saking senangnya mendengar Umi membaca Al Qur’an.
Jika ada yang
mengganggku membaca Al Qur’an layaknya aku kecil dulu, pasti sudah kubentak. Menyebalkan
sekali jika sedang khu’syu beribadah malah diganggu orang. Tapi aku tidak
pernah mendengar Umi membentakku karena telah mengusiknya. Umi malah
menggendongku sehingga telinga ku dengan bibirnya hanya berjarak sesenti saja. Makin
bahagia lah aku bisa mendengar qira’atnya lebih jelas.
Aku masih menyukai
bacaan Al Qur’an nya. Memang tidak bisa disamakan dengan Nasser Al Qatami.
Namun tetap saja indah. Tidak terlalu banyak cengkok yang dibuat-buat tetap
saja merdu. Menenangkan. Membuat aku menghentikan sejenak dari mengerjakan PR
untuk mendengarkannya.
Namun di malam yang
cerah itu, aku mendengar suara lain dari bacaannya. Sesenggukan yang terbata
dan sangat lama berhentinya. Umi menangis.
Tears |
Aku menghampiri ruang
ibadah dan menemukan Umi sedang bersujud. Tubuhnya berguncang tak tentu arah.
Belum pernah kulihat Umi menangis sejadi-jadinya. Aku perlahan mengambil kotak
tisu dan menyerahkannya di samping bahu Umi yang masih terguncang. Tak mau aku
mengeluarkan satu suara pun sehingga ia sadar aku ada di sana.
Yang kutahu, ketika
perempuan menangis, tak sedikit pun ia ingin ditemui. Begitu pula Umi. Maka
kubiarkan saja Umi berduaan dengan Tuhan. Mungkin ada yang membebaninya
akhir-akhirnya.
Payahnya aku. “Bukan mungkin
ada. Pasti selalu ada. Ya, kan Umi?” Akhirnya aku bertanya kepada Umi kesekokan
paginya sebelum berangkat sekolah.
Pagi ini, Umi tampak
cantik dan berseri-seri. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung nasyid yang
sangat kusuka. Haji Menuju Allah yang dipopulerkan oleh Raihan. Umi ingin
sekali naik haji. Diam-diam kusisihkan seribu dari uang jajanku untuk mewujudkannya.
Tapi betapa payahnya aku, jam tangan tahan air membuat aku memecahkan celengan
ayamku.
Umi manis seperti
biasanya. Pantas saja Abi jatuh cinta. Umi manis seperti orang lupa habis
menangis. Pantas saja Abi selalu jatuh cinta. Namun bengkak di bawah matanya,
tak berhasil ia sembunyikan dariku. Dengan keberanian yang besar, aku bertanya
alasannya.
“Terima kasih tisunya
ya, Nak.” Umi mengelus rambut yang selalu ia ingatkan setiap Jum’at untuk
selalu dikeramas. “Anakku yang paling ganteng ini mirip sekali sama Abinya. Abi
dulu juga gitu. Suka diam-diam kasih tisu pas Umi menangis. Romantis.”
“Ya, kan Umi?” Aku
menekan pertanyaanku yang ia hindari.
“Tidak apa-apa.”
“Gara-gara aku ya,
Umi?” Ketika perempuan menangis, dan hanya ada satu lelaki, aku, di sisinya,
pastilah aku penyebabnya. Kan?
“Bukan gara-gara
Bilal, kok, Sayang.”
“Terus gara-gara
siapa?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Amir dan Umay ya.
Mereka kan suka bercanda dan ogah-ogahan waktu ngaji sama Umi. Aku lihat Umi
sampai mendengus. Umi capek ya, makanya Umi menangis?”
Umi terdiam sebentar
lalu menggeleng. Pasti itu. Umi capek.
“Umi kalau capek
nggak usah memaksakan mengajar saja. Bilal hitung-hitung, profit dari usaha Abi
cukup sampai Bilal kuliah, kok. Setelah itu, insya Allah biar Bilal yang
mencari, eh salah, menjemput rezeki Allah. Iya, Mi?”
Aku melihat sebutir
air mata di ujung kelopaknya. Umi masih tidak mengemukakan alasannya.
“Atau karena Bilal
bilang rasa masakan Umi aneh?”
Umi menggeleng. Pasti
itu.
“Maafkan Bilal, Umi.
Bilal nggak lagi-lagi deh mencemooh masakan Umi. Kan, nggak boleh kata Rosul
juga, ya. Maaf ya, Umi.”
Kudengar napas Umi
dihembuskan sangat panjang di atas kepalaku.
“Umi kesepian ya?”
Bisa dibayangkan rasanya menjadi Umi yang hampir setengah hari hanya sendiri di
rumah sebesar ini, pasti kesepian.
Umi tetap bungkam.
Sarapanku selesai.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.15 dan aku harus segera mengayuh sepedaku menuju
sekolah. Sebenarnya ada perasaan kesal karena Umi tidak memberi tahuku alasan
sebenarnya ia menangis hebat semalam. Apa Umi tidak mempercayaiku? Mengapa Umi
tidak mau cerita?
Umi mengambil tas
sekolahku yang tergeletak di sofa. Tangannya yang mulai keriput memegang
pundakku. Ia tersenyum lepas sambil berkata, “Maafkan Umi ya, tidak cerita
padamu mengapa Umi menangis, Anakku. Ketika perempuan menangis, memang begitu.
Ia adalah makhluk misterius yang bisa berganti wajah sesuka ia mengaturnya. Meski
mungkin masih tampak kekacauan di wajahnya, ia bersikeras bersikap biasa saja.
Bahkan mungkin ia bisa pura-pura ke kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya
disana tanpa mau terlihat siapa pun.”
Aku mengangkat
kepalaku. Satu rahasia terbesar perempuan terungkap sudah.
“Mungkin terlalu
cepat Umi berkata ini, tapi ... ketika kau memiliki istri kelak dan kau lihat
istri mu menangis, tak mengapa jika ia tidak memberi tahu alasannya kepadamu,
ya. Perempuan butuh tangisan untuk menyeimbangkan kumpulan rasa yang terbendung
seharian. Bahagia bersama suami, capek mengurus rumah dan harus bekerja, bosan
melakukan hal yang itu-itu saja, atau khawatir ketika anaknya terlambat pulang
sekolah. Segala rasa itu bercampur dengan aliran air mata yang akhirnya
menenangkan mereka.
Jika kau tanya
mengapa ia menangis, tentu saja ia tak akan mudah menjawabnya, karena begitu
banyak alasan ia menangis. Perempuan akan memilah alasan mana yang tak mengapa
untuk diungkapkan dan tidak perlu diungkapkan.” Umi tertawa sebentar lalu
melanjutkan. “Bahkan ketika mengemukakan alasan, perempuan masih memiliki
ratusan alasan lain yang ia sembunyikan.”
Mulutku terkatup.
“Mungkin yang kau
sebagai lelaki harus lakukan adalah tidak menghinanya selesai ia menangis. Ia
akan merasa lebih terhina dan menyalahkan karena telah menangis. Perempuan akan
kalut dan putus asa bagaimana cara mereka mengungkapkan perasaannya jika dengan
menangis mereka masih disalahkan.”
Satu pelajaran baru
bagiku.
“Bilal tidak apa-apa
kan jika istri Bilal nanti menangis kelamaan sampai lupa menyiapkan makanan?”
Aku kikuk. Bagamaina
kalau aku sangat lapar? “Tak apa. Laparku semoga jadi ibadah karena menghargai
waktu istri menenangkan dirinya.”
Umi tersenyum lebih
lebar lagi. “Umi senang Bilal melakukan hal yang romantis semalam. Sekali lagi
Umi bilang, seperti Abimu dulu. Suka diam-diam, bahkan sambil berjinjit,
meletakkan kotak tisu di samping bahu Umi.” Di akhir kalimatnya Umi tertawa
lepas. “Abimu itu sok romantis, Umi kan dengar langkah kaki Abi sekalipun ia
berjinjit.”
Aku tertawa. Umi pun
sama.
Aku bertekad, jika
terdengar suara Umi menangis lagi, aku akan melakukan hal yang sama seperti
kemarin. Setengah dari diriku, mungkin memang masih ada Abi. Akan kuhidupkan
kembali Abi pada diriku untuk menemani Umi.