Hal yang lucu sekaligus
menyenangkan adalah ketika aku harus mencari-cari tulisan lamaku tentang kamu
(ya, kamu pernah menjadi tulisan panjang, lalu pernah juga menjadi tulisan yang
ingin kulupakan, aaaah dan aku hampir lupa menyimpan tulisan tentangmu di
folder mana hehehe), berseluncur dalam media sosial yang mengambil peran lebih
dalam hubungan kita, lalu merangkainya menjadi kronologi yang menciptakan kita.
Ya, kronologi yang mengubah cerita aku dan kamu menjadi cerita kita.
Memasuki pertengahan Agustus
ini Bogor masih saja tidak menunjukkan konsistensinya kepada jadwal musim. Cuaca
berganti jubah semaunya di Kota Hujan. Kota yang meniti tiap jengkalku tumbuh. Kota
yang mendewasakanmu, menurut ceritamu. Satu lagi dan ini penting: kota yang
menyatukan kita.
Tidak terasa sebentar lagi
usia pernikahan kita mencapai 2 bulan, sayang. Memang masih sangat jabang dan
menurut orang ‘masih belum ada apa-apanya’. Tapi bagiku, 2 bulan dengan status
sebagai istrimu, itu adalah apa-apa. Apa-apa yang patut kusyukuri dan tak pernah
terpikirkan sebelumnya. Benar. Menjadi istrimu? Tak pernah terbayangkan kalau
hal ini akan terjadi. Yeah, and it’s
happening now, honey ^^
Let me remember something. Awal 2013 lalu, aku menulis ini:
Kami sama-sama kenal. Bahkan tidak jarang melewati jalan yang sama,
meski tidak sering berpapasan. Kami menyukai menulis. Aku menganggapnya biasa
saja. Sampai awal 2013 ini temanku bercerita. Mengenalkannya secara tidak
langsung kepadaku. Aku mengetahui dua hal baru tentangnya. Dua hal yang mengubah
tujuan penglihatanku padanya. Ia penjelajah. Ia yang kukira selalu menjaga
keislamannya saat mendaki gunung. Subhanallah.
Sambil menunggu layar Habibie-Ainun terbuka, aku dan temanku menikmati
angin sore di sebuah kafe berlatar Gunung Salak. Gunung yang entah mengapa
selalu ada kerinduan kembali mendakinya setiap kali aku melihat gelombang-gelombang
lereng hijaunya. Seperti ada yang tertinggal di gunung itu dan aku harus
menghampirinya. Tapi apa itu sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya.
“Naik gunung dengan kakak itu nggak enak. Dia sama sekali nggak mau
tolongin cewek-cewek. Si A mau jatuh aja, bukannya cepet-cepet tolongin, eh dia
malah sibuk cari kayu. Nggak mau gitu dia pegangan sama cewek. Iiihh. Nggak
segitunya juga kali sama cewek.”
“Serius dia kayak gitu?” tanyaku.
“Iya. Rame banget kan temen-temen ngomongin dia. Gitu banget sih.”
You’re different. Webbing kuning kamu. Semudah itu aku menyukaimu.
Dan setelah cerita itu, sayang, segala peristiwa seperti sengaja dirancang agar
kita bertemu, sehebat apapun kita mengelak, sekeras apapun kita berusaha
menghindar. Mau tidak mau aku menyadari sesuatu, akan ada yang terjadi di
antara kita, sesuatu yang tidak biasa. Ya. Setelah itu, hari-hariku menjadi
luar biasa. Thanks to Allah.
Kamu senang menulis dan
mendaki gunung, kombinasi yang sedang kucari. Pas sekali, waktu itu aku ingin
berkolaborasi dengan seseorang untuk membuat novel tentang seorang pendaki. Hehehe
kepincut Tahta Mahameru kayaknya sih. Lalu tersebut namamu dari mulut
orang-orang. “Elo hubungi dia aja. Banyak loh tulisan tentang pendakian dia di
blog-nya. Pasti dia mau deh.” Senyum mengembang di bibirku sambil berkata, “Enggak
ah. Gue kan nggak kenal dia.”
Selain karena aku nggak kenal
kamu, sayang, sebenarnya aku juga nggak mau kenalan sama kamu, hehehe. Kamu masuk
ke dalam daftar orang yang kubenci. Kamu anak BEM kan? Aku benci anak BEM,
hehehe padahal teman-temanku banyak juga yang jadi anak BEM. Kalian terlalu
eksklusif. Program kalian pun nggak ‘sampai’ ke aku, maksudku, aku nggak merasa
BEM bekerja dalam hidup perkuliahanku, dengan atau tanpa BEM di kampus ini
kurasa tidak ada bedanya. Mungkin aku yang pasif. Tapi bukankah seharusnya
organisasi aktif seperti kalian harus mampu merangkul yang pasif? Hehehe, aku
yang terlalu perfeksionis sebenarnya. Ekspektasiku terhadap lembaga kemahasiswaan
tertinggi di kampus terlalu menjulang. Maaf ya sayang, maaf ya teman-teman BEM
*sungkem*
Kamu pernah menjadi orang yang
kubenci. Logikanya, kamu tidak akan muncul lagi dalam hidupku. Tapi kerja Allah
di luar nalar dan logika manusia. Kamu muncul lagi dengan menggiring takdir
Allah yang tak terduga. Welcome, my
sweety ^^
Dan aku harus memberimu penghargaan
karena berhasil mengusik hidupku setelahnya. Hidup seorang wanita cuek yang
menyukai coffee less sugar dan plain milk. Hidup seorang wanita yang
paling anti bicara cinta terhadap lawan jenis (bahkan setelah menikah, bisa
kamu hitung dengan jari berapa kali aku mengucapkan cinta, hehehe istrimu ini
penganut paham cinta tidak untuk diumbar kata, sayang, tapi untuk dibuktikan
dengan perbuatan dan tanggung jawab, terima saja ya sayang *cium*). Jadi, dosa apa
aku sehingga harus berhadapan dengan sesuatu yang tidak kusukai: kamu dan perasaan
aneh terhadap lawan jenis yang bernama cinta? Kini, kombinasi keduanya menjadi
bagian dari hidupku. Sebuah oksimoron yang ingin kupertahankan keberadaannya.
Di awal perkenalan kita, aku
berusaha keras membatasi diri agar kamu tidak mengambil alih perhatianku. Aku bukan
wanita yang mudah berhubungan dengan laki-laki, sekadar berbicara tatap muka
saja butuh keberanian ekstra agar aku bisa berlama-lama. Aku lebih suka
membangun tembok pembatas antara diriku dengan laki-laki yang bukan keluargaku.
Ya. Aku hanya akan mempersilahkan laki-laki lain masuk ke hidupku kalau ia
berani mengetuk pintu rumah dan bertemu Ayahku. Membatasi diri terhadapmu, terkadang
berhasil. Lebih seringnya tidak. Ah. Dan aku lebih sering menangis mengingat
dosa-dosa yang kubuat. Aku tidak mau menjadi penyebab dosamu, sayang. Tidak mau.
Makanya aku sengaja tidak
menghadiri wisudamu meski hanya sekedar mengucapkan selamat dan pergi begitu
saja (tak terbayangkan olehku akan memberimu bunga, sesuatu yang mengganggu
menurutku). Temanku mengingatkan, “Elo nggak ke wisudanya? Elo yakin?” Aku
dengan santai menjawab, “Yakinlah. Kenapa juga harus datang ke wisudanya?” Aku
hanya tidak ingin menciptakan sesuatu yang aneh di hari besarmu, sayang. Biar saja
waktu berlalu sambil kupandangi dari jauh pucuk gedung GWW dan mengirim sms
selamat kepadamu ketika hari sudah sangat sore sekali. Sms selamat yang
kalimatnya sama dengan yang kukirimkan kepada teman lainnya. Aku sedang
berusaha meyakinkan diri bahwa kamu tidak istimewa. Kamu tidak istimewa. Kamu tidak
istimewa. Dan semakin kusangkal, semakin istimewa kamu.
Pernah juga aku menulis
begini:
Harus kamu tahu, aku malu. Ketika nenek di Rumpin tanya, “Pada mau
ngopi nggak? Suka kopi nggak?” lalu kamu menjawab, “Nisa tuh nek suka. Dia
sukanya kopi pahit. Nggak pake gula.” Aku ngeloyor mengambil sapu, tersipu
malu. Bagaimana kamu tahu? Oke aku tahu kamu tahu dari tulisan mayaku. Tapi,
bagaimana kamu masih bisa mengingatnya? Aku malu, tahu!
Sayang, saat itu ingin sekali
kuhapus kalimat-kalimatmu dari pikiran. Seandainya kamu tidak mengatakan
apapun, tentu tidak sulit meniadakanmu dari otakku. Tapi ingin juga mengatakan,
“Terima kasih sudah ingat.” Bibir hanya kelu. Dikunci oleh pertahananku yang
tidak boleh roboh hanya karena kamu. Memangnya kamu siapa mampu merobohkan
tembok pembatasku? Aaaah, setelah itu, kamu adalah siapa-siapaku. Kamu suamiku.
Kutulis begini dulu:
Harusnya kamu tahu, aku takut sekaligus senang sekaligus tidak percaya.
Aku yang sudah mengambil ancang-ancang kapan harus berangkat sendiri, tapi
ternyata kita satu angkot, bahkan dari depan komplek. Kebetulan? Sinetron
bilang begitu. Tapi aku yakin Allah mengendalikan segalanya yang terjadi di
bumi dan di langit. Termasuk mengendalikan waktu dan tempat agar kita bisa satu
angkot. Kita bepergian berdua. Meski di angkot banyak penumpang lain. Jujur,
aku takut. Takut sekali. Takut yang menyenangkan. Ketakutanku menggunung ketika
kamu memilih duduk di sebelahku di dalam bus umum. Cuaca saat itu panas. Aku
sulit membuka jendela. Kamu menawarkan bantuan. Aku menolak. Aku takut kita
harus sedekat ini. Sepersekian perjalanan aku dan kamu banyak bercerita tentang
apa saja. Hingga akhirnya bantuan itu ada. Kamu mempersilahkan ibu dengan dua
anak kecil duduk di sebelahku. Kamu berdiri. Kamu menghormati wanita, aku suka.
Right, my king, something will happen between us. And, once again, it’s
happening now.
Dan aku semakin tidak mengerti
sehingga menulis ini:
Harusnya kamu tahu, ingin sekali aku bertanya, “Kenapa memilih pulang
ke Bogor, sedangkan kamu bisa mengambil kesempatan cuti kerja di Garut dan
bertemu keluargamu? Satu lagi, kenapa harus ke Rumpin, sedangkan kita bisa saja
bertemu di kampus?”
Allah Maha Baik, sayang. Tak perlu
aku menodai kehormatanku bertanya hal itu kepadamu. Kamu sendiri yang menjawab,
“Karena kamu,” sambil matamu memenjarakan pandanganku, setelah kita menikah
kemarin. Alhamdulillah.
Benar sekali sayang, Allah
Maha Mendengar. Tidak perlu ada kalimat cinta sebelum ikatan suci itu ada. Tak apa
aku hanya bisa memandangi punggungmu yang menjauh dan tak menoleh kepadaku saat
aku menyebut namamu lirih ditelan peluit kereta api. Jika memang Allah hadirkan
kamu untukku, kamu akan datang dengan sendirinya, tanpa perlu kamu bernapsu
terlalu mendekat, tanpa perlu aku memaksa diri berpergian denganmu. Pada akhirnya
Allah memang telah menyiapkan jalan untuk kita lewati bersama. Alhamdulillah. Seperti
kata Efek Rumah Kaca dalam lagunya “Jatuh Cinta itu Biasa Saja”.
Kamu nggak tahu lagunya,
sayang? Hehehe kita memang beda banget ya. Terutama soal musik. Nih aku kasih
tahu liriknya, kita banget juga lho ^^
JATUH CINTA ITU BIASA SAJA
(Oleh: Efek Rumah Kaca)
Kita berdua hanya berpegangan tangan
Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita
Tak perlu memuji
Kita berdua tak pernah ucapkan maaf
Tapi saling mengerti
Kita berdua tak hanya menjalani cinta
Tapi menghidupi
Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu, kian membelenggu, cepat
berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja
Jika jatuh cinta itu buta
Berdua kita akan tersesat
Saling mencari di dalam gelap
Kedua mata kita gelap
Lalu hati kita gelap
Hati kita gelap
Lalu hati kita gelap
Ya,
sayang. Jatuh cinta itu biasa saja. Biar Allah yang membuatnya luar biasa
*peluk*
Kita ^^ |
Segala pertemuan kita dulu dan
pertanyaan-pertanyaan yang muncul ternyata jawabannya adalah untuk
mengantarkanku duduk berdampingan denganmu di depan meja pelaminan. Pertanyaan baru
muncul: kenapa Allah menakdirkan kita menikah? Menurutmu, apa jawabannya,
sayang? Kita masih menunggu jawabannya. Mari
bersabar. Toh kita sudah terbiasa menunggu dulu. Biar Allah mengerjakan
pekerjaannya, sayang.