Tinggal bertahun-tahun di Kota
Hujan tidak menyurutkan rasa kagumnya ketika hujan turun. Banyak yang bilang,
kalau kita terlalu sering berinteraksi dengan satu hal terus-menerus, rasa
kagum terhadap sesuatu itu perlahan sirna, merasa biasa saja, lalu bosan. Tapi
tidak dengan Njani. Berinteraksi berjuta detik dengan hujan, tidak membuatnya
bosan, justru semakin mengembang dan menggenap, seperti adonan roti yang dicampur
permipan.
“Kok kamu bisa sih nggak bosan
sama hujan?”
Njani hanya merutuk payung kecil
jingganya yang rusak, lebih tepatnya payung kecil ketiga yang ia beli dengan
uang sendiri yang rusak. Sudah sekian kali ia memasuki toko yang sama, membeli payung
yang sama, dan mendengar celotehan penjaga toko yang sama, “Rusak lagi, neng,
dijahit saja.” Lalu menanggapi dengan kalimat yang persis, “Nggak ngaruh, bang,
rusak lagi.”
Hingga pada suatu hari, ya di
hari ini, Njani mendeklarasikan tidak akan membawa payung. “Aku udah nggak
percaya sama payung kecil.”
Lelaki di sebelahnya itu geli.
“Kasihan sekali nasib si payung kecil.”
“Tapi kalo nggak gitu, kita
nggak akan disini,” Njani mengibas-kibas jaket parasutnya yang bercampur
lumpur.
Bara menggulung lengan
kemejanya lebih tinggi. Bulir-bulir hujan mengalir dari tengkuknya. Deras di
atas atap warung tempat mereka berteduh menjadi satu-satunya suara yang
terdengar. Njani dan Bara sama-sama memilih diam. Seperti memperhatikan sesuatu
di antara garis hujan yang menghujam aspal. Sesuatu yang tak berwujud.
Njani tersadar dari
lamunannya. “Hujan tuh ajaib, ya?”
“Like what?”
“Like a witch.”
“Hujan punya tongkat sihir?”
“Hhmm mungkin. Walau
sebenarnya, mungkin, tak bertongkat, hujan benar-benar bisa menyihir.”
“Penyihir ulung.”
“Setuju.”
“Memang apa kemampuan
sihirnya?”
Diamnya Njani membuat Bara
menjadi korban sihir sang hujan. Lelaki itu sepakat dengan Njani. Hujan memang
ajaib dan bisa menyihir. Datangnya hujan yang tiba-tiba selalu berhasil membuat
manusia teralihkan sejenak dari kesibukannya, terpaku memperhatikan hujan jatuh
membasahi bumi, berlirih dengan kesejukan yang hujan ambil dari surga, merasa
lebih segar padahal manusia tidak habis mandi. Aaaah, hujan punya cara jitu
mengambil perhatian orang.
Dan hujan selalu datang
tiba-tiba di Kota Hujan. Ini kotanya. Hujan punya wewenang datang dan pergi
seenaknya. Hujan bisa egois tetiba deras atau rintik saja. Penduduk yang lain
harus ikut aturan mainnya. Sedia payung setiap saat atau siap-siap kehujanan
dimana pun berada.
Terhadap perempuan yang kini
sibuk bercakap-cakap dengan orang lain yang juga berteduh bersama mereka, Bara
mulai bisa menebak jawaban dari pertanyaannya sendiri: “Kok kamu bisa sih nggak
bosan sama hujan?”
Entah pada kesempatan kapan,
Njani pernah menyatakan ini kepada Bara: “Kadar.”
Yang Bara pahami, terhadap
sesuatu yang menyenangkan baginya seperti hujan, Njani memberinya kadar dengan
tidak berlebihan. Ia suka seperlunya saja. Ia nikmati tanpa perlu dipamerkan.
Mengatakan suka hanya dalam bentuk aksara tanpa suara. Tidak hidup dalam angan
kosong. Tidak memuji hujan melebihi langit yang menurunkannya. Tidak memuji
langit melebihi Tuhan yang meninggikannya. Njani suka hujan biasa saja.
Atau seperti kalimatnya: “Baiknya
sih kita suka terhadap sesuatu ya sekadarnya saja. Tidak perlu dosis tinggi
dalam mengagumi. Nanti overdosis. Jadi penyakit.”
Kepada hujan, rasa kagumnya
tidak mau membuat Njani penyakitan.
Sepertinya aku harus belajar memberi kadar seperlunya dalam mengagumi,
biar aku nggak overdosis. Aneh kalau ada nama penyakit Demam Njani. Bara
terkekeh sendiri.
|
Kadar Rintik |
“Aku percaya kalau ketika
hujan turun, tidak hanya derasnya yang bikin berisik.”
Bara mengecak. Wanita itu
selalu punya topik pembicaraan yang berat. “Klakson angkot. Umpatan orang-orang
yang benci kebasahan. Apalagi?”
“Harapan manusia terhadap
makhluk asing dari sejenisnya.”
“Haaaa?”
“Hahahaha maaf maaf. Duuuh.”
“Apa sih?”
Njani percaya, berdo’a ketika
hujan turun kesempatan dikabulkannya lebih tinggi. Maka dari itu Njani suka
hujan. Ia jadi punya kesempatan lebih tenang dan percaya terkabulkan dalam
berdo’a. Seperti mendo’akan makhluk asing yang entah siapa dan kapan
dipertemukan untuk melihat hujan bersama. Ia melihat celah di antara rintik
hujan dan menyelipkan harapnya disana.