Bagaimana kalau setiap hari adalah hari terakhir kita?
Cuaca Bogor minggu ini lucu
sekali. Pagi hari, semburat cahaya matahari dengan gagah menelusup di sela
dedaunan trembesi. Ia terang mencapai terik. Padahal masih pukul delapan.
Gunung yang dekat sekali dengan tempat saya mengajar disinarinya hingga
terlihat pucuk-pucuk pohonnya. Siang menuju sore, ketika kelas tambahan hampir berakhir,
langit tetiba menghitam. Kilat dan petir saling mendahului. Hujan semerta-merta
tumpah ruah membasahi bumi. Hanya beda beberapa jenak saja, wajah Bogor
berubah. Hanya dengan membahas satu bab pelajaran saja, panas pagi mudah
berganti dengan dingin sore.
Ya. Waktu dan peristiwa memang
secepat itu berkelebat di kolong langit. Di bumi ini, tanpa sadar semuanya berubah
seperti berlari. Satu masa berakhir berganti masa yang lain. Masa yang lain
berakhir dan berganti dengan masa yang lainnya lagi. Begitu saja terus. Hingga
masa benar-benar berakhir dan tidak menyisakan apapun lagi.
Selain cuaca Bogor yang lucu,
ada satu hal lagi yang menghibur, bahkan menyenangkan saya minggu ini. Saya
sebut dengan mereka. Mereka yang paling malas menulis teori pembentukan benua
dan samudera di buku, tapi paling rajin menulis curhat berlembar-lembar. Mereka
yang berkata, “Tenang, Kak, ujian nanti aku bakal asal-asalan menjawab bahasa
Inggris,” tapi juga rajin sekali bertanya, “Kak, apa artinya ‘you and me live happily
ever after?’ Aku pengen nulis itu buat seseorang” dengan cengkok bahasa Inggris
yang belepotan. Mereka yang ogah-ogahan ketika saya mengajak belajar tambahan
tapi selalu menahan saya untuk pulang lebih lama dengan cerita-cerita. “Makanya
Kak nginap aja disini.”
Satu hal yang menyenangkan
saya adalah mereka yang biasanya duduk paling belakang tidak memperhatikan
tiba-tiba menarik kursi, duduk berhadapan dengan papan tulis, dan bangga sekali
berteriak, “Diam, mau belajar nih!” kepada teman-temannya yang asyik
menggodanya. Mereka yang (akhirnya) semangat belajar ^^
“Kok tumben?” Saya tidak tahan
menggoda. Dalam hati bersorak riang, “Hore, anak-anak itu membawa modul!”
“Kan ini yang terakhir, Kak.”
Begitu kira-kira pengakuannya. “Aku habis ngaji belajar sampai jam 10 loh, Kak.”
Membusung dada. Seolah itu adalah rekor terlama mereka membaca pelajaran.
“Keren itu. Allah emang lihat
usaha kalian.” Lalu saya tambahkan kisah teman-teman saya yang begadang sampai waktu
tahajud saat musim ujian.
Mereka geleng-geleng kepala. “Bisa
tahan begitu, Kak?”
“Ya bisa. Mereka punya ambisi.
Nggak cuman mimpi lalu dinikmati sambil bengong. Mereka total. Kalian juga
harus total. Kan insya Allah ini yang terakhir.” Duh, jadi sedih.
Aamiin panjang menggema di
ruang kelas.
Kadang, atau bahkan sering
(?), kalimat “ini yang terakhir” punya kekuatan memunculkan energi lebih agar
yang kita lakukan benar-benar memberikan hasil yang sempurna, tentu yang sesuai
keinginan. “Ini yang terakhir” memang bisa membuat kita jadi total mengerahkan
yang kita bisa. Sampai sepayah apapun kita kerahkan, karena berharap ini yang
terakhir. Akhir yang baik. Dan mereka, harus kuakui, sudah tersihir oleh
kalimat yang mereka ciptakan sendiri. “Ini yang terakhir.” Mereka berubah.
Bangga deh.
Di akhir kelas sebelum kami
benar-benar pulang, saya dan mereka melingkar. Melebur sudah strata guru dan
murid.
“Kak, ibuku nanti mau kesini.”
“Oh ya. Kapan?”
“Sebelum ujian. Mau syukuran.”
“Loh. Ujiannya kan belum, kok
syukuran?”
“Iya. Syukuran akhirnya aku
ujian akhir juga.”
Entahlah. Tiba-tiba dada sesak
saja. Membayangkan perasaan seorang ibu yang akhirnya mendapat kabar anaknya
bisa ikut ujian kelulusan. Bahagia pasti. Tidak perduli hasilnya bagaimana.
Anaknya bisa ikut ujian saja, sang ibu rela menghampiri gunung, melakukan
selebrasi bersama yang dicinta.
“Setelah lulus, kalian mau
kemana?”
Lalu mimpi-mimpi membumbung
tinggi ke angkasa yang menggelegar. Petir di luar jendela mulai menakutkan.
Tapi saya masih tertahan disini, bersama mimpi mereka yang perlu dihimpun dan
diwadahi biar tidak lumer dan menghilang mudah.
Saya mulai pembicaraan yang
mengundang sunyi. “Yang terpenting itu kalian bisa mempertanggungjawabkan
kelulusan kalian.” Mungkin terdengar berat bagi anak seusia mereka. Tapi dunia
di luar sana lebih berat lagi. Bisa tewas mereka kalau tidak berani menanggung
resiko.
Ya. “Ini yang terakhir” bisa
mengubah diri seseorang, melawan sisinya yang hina, demi mencapai mimpinya yang
semanis surga. “Hei dunia, aku juga bisa loh jadi baik!”
last, out, and go |
Selain mereka. Ada lagi makhluk
melankolis yang, saya tahu, sedang berpayah tertatih melantangkan tanpa kata “Ini
terakhirku. Aku harus all out.” Ya. Beliau yang
diam-diam menangis di sunyi sepertiga malam dan menyantap teh tawar sehabis
sarapan seraya berlirih, "Tugasku hampir selesai." Hhhhmmm.
Rasanya setelah ini dunianya berakhir, maka ia harus memberikan yang terbaik.
Segalanya harus sempurna. Bahkan satu kata di kertas, satu angka di
perhitungan.
Pun
sama wanita yang selalu saya puji ketangguhannya. Beliau rajin sekali berdoa, “Semoga
ini yang terakhir untukmu.” Hujan. Panas. Motor mogok. Banjir. Belanjaan
menggunung. Kepayahan yang ia alami tidak ada artinya dengan akhir yang ia
harap di setiap senja malu-malu pulang ke peraduan.
Yang
lebih penting dari ini semua adalah: Bagaimana
kalau setiap hari adalah hari terakhir kita? Bagaimana kalau tidak ada besok? Apa yang kita sudah kita lakukan demi akhir kita hari
ini? Akan dimana kita berakhir?