Yogyakarta tidak pernah lepas dari tujuan liburan.
Berbagai jenis wisata disuguhkan kota
ini. Mulai dari wisata sejarah, wisata belanja, wisata kuliner, sampai wisata
adrenalin. Tempat yang jarang sepi pengunjung di antaranya adalah Kraton
Ngayogyakarta, alun-alun Yogya, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan yang
paling mainstream Jalan Malioboro.
Gelombang wisatawan dari berbagai daerah memang
berdampak baik bagi perekonomian kota.
Namun jangan lupa, ada satu dampak buruk yang apabila dibiarkan bisa mengurangi
keeksotisan Yogyakarta, namanya sampah. Yeah,
tumpukan sampah di sudut jalan pasti membuat warga lokal dan wisatawan tidak
nyaman. Alhasil angka pengunjung bisa menurun.
Hanya saja selama berjalan-jalan di Yogyakarta, saya jarang menemukan gunungan sampah. Memang
tidak sebersih di Bali, tapi masih rapih Yogya dibanding Bogor. Selain banyak tersebarnya tong sampah
dan papan peringatan untuk membuang sampah pada tempatnya, kebersihan kota ini juga merupakan
hasil kerja dinas kebersihan dan pertanaman setempat. Selain itu, para pemulung
juga turut andil dalam menjaga nama baik Yogyakarta.
Mungkin karena begitu masifnya promosi
wisata, orang luar tidak banyak yang tahu kalau ada satu tempat menarik yang
juga patut dikunjungi selama di Yogyakarta.
Kampung Code. Sebagian besar penghuni kampung ini bekerja sebagai pemulung
sampah. Mereka lah yang menjaga keseimbangan kota dari segi kenyamanan dan keindahannya.
Di saat wisatawan riuh menikmati jajanan Yogya, mereka memungut sampah yang ada
di jalan-jalan.
Tapi, apa yang bisa dinikmati jika kita
pergi ke kampung para pemulung? Berkarung-karung botol bekas tentu tidak minus
di penglihatan. Tapi tidak hanya itu. Lalu? Berikut ini adalah ulasan dan
foto-foto ketika saya, akhirnya, bisa berkunjung ke Kampung Code. Monggo …
Kampung Code terletak di Kelurahan Kota
Baru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, kampung
ini berada di pinggir Kali Code, sebuah kali yang pernah menjadi jalur aliran
lahar dingin ketika Gunung Merapi meletus 2010 lalu. Tidak sulit untuk menuju
kampung ini karena letaknya masih di tengah kota. Namun, karena harus berdesakkan dengan
gedung-gedung tinggi, pemukiman ini mudah dilupakan, dilirik pun jarang.
Di bawah Jembatan Gondolayu yang
menghubungkan dua sisi Jalan Jenderal Soedirman, tepatnya di balik jajaran
bengkel motor, Kampung Code berada. Tanya saja warga lokal dimana Jembatan Gondolayu,
pasti banyak yang tahu. Jembatan ini punya sejarah horor yang menjadi buah
bibir warga. Dinamakan Gondolayu karena ketika masih tumbuh semak belukar,
tempat ini dijadikan sebagai tempat pembuangan mayat korban kejahatan. Memang
Gondolayu sendiri artinya bau mayat. Mengetahui hal ini saya langsung
merinding. Namun justru dianggap sebagai anugerah. Aparat tidak mau bersentuhan
dengan wilayah ini. Jadilah para gelandangan yang datang dari luar Yogya
memanfaatkan bantaran Kali Code sebagai tempat tinggal. Mulai tahun 1960an
lahirlah pemukiman pinggir kali yang kumuh yang biasa disebut Kampung Code.
Kumuh. Kotor. Berantakan. Bau. Tidak layak
menjadi tempat tinggal manusia. Itulah yang menjadi penyebab pemerintah pada
masa Orde Baru ingin menggusur pemukiman Kali Code. Hingga akhirnya seorang
arsitek bernama Romo Mangunwijaya menata ulang kampung tersebut. Bersama
mahasiswa dari Arsitektur UGM, beliau menyihir kampung kumuh menjadi kampung
unik. Unik dalam hal tata ruang, estetika, ekologi, hingga edukasi. Keunikan ini
akhirnya berbuah manis. Berkat kerja kerasnya, Romo Mangunwijaya menerima
penghargaan internasional dari The Aga Khan
Award for Architecture pada tahun 1992. Sampai sekarang, banyak mahasiswa
Arsitektur dari berbagai universitas di Indonesia
melaksanakan kuliah lapang di sana.
Mantap!
Kalau
tidak ditata dengan baik, kampung ini sudah longsor sejak bertahun-tahun lalu.
Pasalnya bantaran Kali Code memiliki tapak miring yang kalau dibangun pemukiman
akan merusak ekosistem dan menyebabkan longsor. Namun tim Romo Mangunwijaya
memiliki cara jitu. Agar tidak mudah longsor, fondasinya dikuatkan dengan
drum-drum yang diikat dan ditimbun dalam tanah. Bangunannya dibuat mengikuti
kemiringan tanah. Karena banyak keluarga yang menghuni kampung ini, Romo
mendesain bentuk rumah susun dan jalan yang berkelok sehingga rumah terlihat
saling menindih namun tetap nyaman dihuni.
Tumpak Tindih |
Menjaga Rumah |
Jujur saja, alasan saya datang ke Kampung
Code bukan karena arsitekturnya yang unik. Saya tidak terlalu mengerti tentang
ini. Tapi karena estetika dan edukasi yang saya dengar dari seserorang. Mumpung
sedang di Yogyakarta, mari merapat ke Code ^^
Seorang kakek menghampiri saya. Pas
sekali, saya sedang kehilangan arah. “Pak, anu, Kampung Code …”
Tanpa menunggu kalimat saya selesai,
lelaki yang saya taksir berumur 70an itu mengangkat jempolnya, menunjuk sebuah
gardu tepat di belakang punggungnya. Hore, ketemu!
Gardu Kampung |
“Alhamdulillah, ada yang sempat mampir,”
katanya yang kemudian saya ketahui bernama Dartun. Petugas parkir ini senang
sekali tiap ada orang luar yang datang. Yang paling berkesan adalah Mbah Dartun
gemar memberi jempol kepada siapapun, termasuk kepada saya, ditambah senyumnya
yang memamerkan giginya yang tanggal. Sebuah sambutan yang tidak neko-neko.
Sebuah apresiasi sederhana yang sulit dilupa. Piye kabare, Mbah? Apik-apik wae
toh? Jangan merokok terus dong ^^
Kakek Dartun |
Kalimat syukurnya itu membuat saya
bertanya-tanya. Jarangkah ada yang mampir kesini? Katanya tempat bagus. Yeah,
mungkin wisatawan Yogya lebih senang mengunjungi tempat-tempat eksotis dari
pada pemukiman pemulung. Mungkin. Tanpa banyak bertanya lagi, saya memasuki
sebuah gardu yang membuat saya penasaran.
Jangan berharap akan disambut oleh tarian
dan semacam upacara penyambutan tamu jika kalian mendatangi Kampung Code. Tiket
masuk? Kampung Code terbuka untuk umum dan gratis, karena memang kampung ini
bukan kampung wisata. Hanya saja, karena baru pertama kali kesana, saya jadi bingung
harus jalan kemana. Satu-satunya yang menyambut saya hanya papan gambar seekor
kura-kura cokelat bertuliskan “Alan-alon wae”. Rasanya seperti diperingatkan,
“Masuk Kampung Code, kamu tidak perlu berjalan terburu-buru. Santai saja.
Nikmati setiap inci langkahmu melaju. Rasakan desah napas kehidupan para
detrivor di bawah riuh kendaraan kota.”
Kemana saya? Ikuti saja jalan setapaknya.
Berjalan seperti Kura-kura |
Seorang nenek tampak memperhatikan
gerak-gerik saya. “Orang luar,” mungkin dalam hati beliau berkata begitu. Namun,
tanpa memberi tabir pembatas antara orang luar dan orang dalam, nenek itu
tersenyum, “Monggo.” Oh, ramah nian, awalnya takut digerebek warga, akhirnya
malah melenggang kesana kemari.
Senyum Nenek Warna-warni |
Berkarung-karung botol kaca bekas menjadi
pertanda kalau kampung ini dihuni oleh para pemulung. Namun, karena karung
hasil mulung mereka tertata rapi, maka kesan jorok pada kampung ini akan
terhapus dari prasangka. Selain itu, sampah tidak bertebaran dimana-mana,
sungguh beda sekali dengan beberapa kampung kumuh yang sering disorot televisi.
Mungkin salah satu alasan tidak adanya
sampah berserakan di kampung ini adalah tong sampahnya yang unik. Ada satu tempat
pembuangan sampah besar di belakang kampung. Sepertinya itu adalah tempat
pembuangan akhir sebelum diangkut truk sampah. Tempat sampah itu dilukis dengan
cat biru cerah. Terdapat ornament daun-daun putih di atasnya. Dan yang lebih
menariknya lagi adalah kalimat di sisi depan tong sampah itu. Ada gambar wayang dengan balon percakapan
yang berbunyi, “Buktikan cintamu padaku …” Kalimat ini tentu lebih menyenangkan
dan tidak bersifat persuasif dibandingkan “Buanglah sampah pada tempatnya.”
Terlalu klise dan membosankan. Dari sebuah tong sampah di Kampung Code saja,
saya bisa belajar betapa pentingnya berbicara santun.
Tong Sampah Santun |
“Waaaaaahh” saya semakin tercengang
melihat dinding tiap rumah di Kampung Code penuh warna-warni. Keren sekali.
Corak warnanya pun tidak sembarang gambar. Gareng, Petruk, Bagong, dan ayah
mereka Semar, meramaikan kayu dan bambu pembatas rumah. Tokoh wayang lain pun
menghiasi sudut gang Kampung Code. Ada
juga yang melukis pepatah jawa. Kesannya seperti sedang berjalan-jalan di galeri
kesenian, bukannya pemukiman pemulung. Jempol gajah deh buat yang melukis. Top
banget!
Kampung Warna-warni |
Selama berjalan-jalan di kampung ini, saya
bisa simpulkan bahwa cara para pendidik (organisasi non profit yang sengaja
datang ke kampung, RT/RW, dan orangtua) mengajari anak-anak atu kaum mudanya
tidak dengan lisan perintah, tapi dengan media yang lebih menarik dan mudah
diingat. Misalnya ya seperti lukisan pepatah jawa di sepanjang dinding pembatas
jalan, stiker, hingga jam buatan yang ditempel di pohon kelapa.
Ini adalah lukisan keluarga wayang yang
terkenal. Semar, sang ayah, seperti sedang mengajari para anaknya (Gareng,
Petruk, dan Bagong) untuk tunduk kepadanya. Lukisan ini mengajarkan bahwa
setiap anak harus menurut dengan orangtua.
Lukisan Wayang |
Lukisan lainnya berbentuk wayang sekop
yang bertuliskan sepi ing pamrih, rame
ing gawe. Penduduk Kampung Code seolah dinasihati untuk selalu giat bekerja
tanpa perlu grasa-grusu meminta upeti. Bekerjalah dengan ikhlas, tidak pakai
pamrih. Padahal kalau dipikir-pikir, kerja mereka sangat melelahkan, uang yang
didapatkan pun tidak seberapa. Sebenarnya mereka punya hak untuk meminta
penghidupan lebih kepada pemerintah yang banyak dikabarkan televisi hobinya
mengambil uang rakyat. Tapi tetap saja para pemulung itu tetap tidak boleh
kerja pamrih. Subhanallah.
Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe |
Lukisan di salah satu dinding rumah ini
bertuliskan rumekti handarbeni.
Maksudnya adalah kita harus menumbuhkan rasa memiliki. Memiliki terhadap
apapun. Termasuk lingkungan rumah mereka, sehingga keamanan dan kenyamanan
tetap terjaga. Tidak boleh saling sikut-menyikut, karena mereka semua
bersaudara, mereka saling memiliki. Teduhnya kampung ini.
Rumekti Handarbeni |
Pintu-pintu rumah warga Kampung Code tidak
sepi dari tempelan stiker edukasi. Salah satunya adalah stiker mengaji. Begini
bunyinya: Gerakan Masyarakat Gema Mengaji “Mengaji Maghrib”, matikan TV dan
stop bermain waktu maghrib! Waaah penting banget ini. Sementara banyak tayangan
menghibur di layar kaca, warga kampung diajak untuk mematikan TV, hanyut dalam
sejuknya kalimat Allah agar selalu ingat dengan akhirat. Stiker begini baru
kali ini saya temukan. Apalagi di lingkungan kelas bawah. Patut dicontoh!
Sticker Mengaji |
Stiker lain yang banyak saya temukan
adalah stiker merah bergambar anak laki-kali memegang pensil raksasa di bawah
lampu belajar dan sebuah buku. Dalam stiker itu terdapat tulisan wancine sinau:
jam 18.00-20.00. Ada
jam wajib belajar bagi anak-anak setelah maghrib. Keren banget. Walau mungkin
cara ini tidak terlalu efektif, setidaknya Kampung Code sudah memberikan edukasi
yang tidak harus menggurui. Cara lain untuk mengajak anak-anak belajar adalah
adanya papan bergambar bertuliskan saiki
sinau 18.00-20.00, sesuk sak karepmu. Hahaha kalau dibaca hari ini, tentu
besok boleh belajar seenaknya saja jam berapa. Tapi kalau dibaca besok (yang
artinya juga hari ini), pasti harus juga belajar jam 18.00-20.00. Ada-ada saja
^^ Selain itu juga ada jam tempel di pohon kelapa yang jarum jamnya selalu
menunjuk pukul 18.30 dengan tulisan ayo
sinau! Seperti sudah lumrah belajar dan mengaji antara maghrib dan isya.
Waw!
Jam Tempel |
Tapi jangan kira dengan banyaknya tulisan dan stiker itu kita merasa kampung ini terlalu serius. Justru warga-warga di sini sangat ramah menyambut saya, mempersilahkan main ke rumahnya, menunjukkan jalan, memperingati agar berhati-hati karena jalanan menurun cukup licin. Apalagi setelah sampai di sebuah bale warna-warni. Bale bernama Paseban ini, ujar Kakek Dartun, sering digunakan untuk tempat berkumpul warga. “Waktu tahun baru kemarin, anak-anak kampung mengadakan konser band disini. Seru sekali. Orang bule juga pada berdatangan.”
Beberapa anak berlarian menghampiri saya,
serobotan, bahkan ada yang terjatuh hanya untuk mengucapkan, “Hai kakaaaak!”
Hahaha kenal saja tidak, sudah panggil kakak duluan. “Hai kaliaaaan!” Lalu muka
polos mereka semakin sumringah melihat saya mengangkat kamera.
Selain bale ini, ada satu tempat yang
sering dikunjungi anak-anak. Namanya Perpustakaan Romomangun. Nama perpustakaan
ini tentu dipilih untuk menghormati sanga arsitek yang telah berjasa besar
memperbaiki Kampung Code. Bangunan bertingkat ini tidak lepas dari
tangan-tangan pelukis yang membuat motif segitiga hijau kuning, sehingga kesan
kaku sebuah perpustakaan bisa ditutupi. Saya tidak sempat masuk ke dalam
perpustakaan itu. Namun katanya terdapat ratusan buku bacaan dan sketsa rumah
karya Romomangun disana.
Perpustakaan Romomangun |
Ada satu keluarga yang sedang santai
duduk-duduk di bronjong batu di bawah bangunan museum. Menikmati semilir angin
siang dan melepas pandangan ke penjuru Kali Code adalah bentuk refreshing sederhana yang tidak
terlupakan. Sambil melepas lelah berjalan keliling kampung, saya melihat
gunungan pasir di seberang. Itu adalah satu dari banyak gunungan pasir sisa
lahar dingin letusan Merapi yang melewati kali ini. Katanya juga museum hampir
roboh diterjang aliran air pembawa pasir. Tentu upaya renovasi telah dilakukan.
Bagaimana pun Kampung Code harus tetap
bertahan di tengah desakan modernitas kota
dan bahaya lahar dingin Merapi. Banyak warga yang terhidupi di kampung unik
itu.