Sekitar tiga sampai empat bulan lalu, saya berkenalan
dengan sebuah desa yang namanya pernah saya ejek waktu saya SMA. “Selain
Bojong, nama Sukatani adalah nama paling aneh untuk sebuah desa.” Dan di
sanalah saya hidup hampir tujuh minggu, di desa yang pernah saya sebut aneh.
Desa Sukatani. Desa ini terletak di Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang. Lalu
Compreng menggenapkan daftar nama daerah aneh di Indonesia. Yeah, it is my
Indonesia! Full of names!
Papan nama desa
KODAK
EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/400 sec., ISO-100, FL 6 mm, with Font by Photoshop
CS4
|
Namun di balik semua
keteranehan itu, desa ini memesona saya dengan segala kejutannya yang sudah ia
siapkan. Penduduk, bentang alam, budaya, napas kehidupan, matahari maghribnya,
semua-muanya mengejutkan saya. Dan ya, saya tercengang.
Sore itu, kedatangan saya disambut sangat baik oleh kawanan domba yang sedang pesta rumput. Di sudut dekat pohon beringin, ada satu domba betina yang baru saja melahirkan. Ari-ari (itu ari-ari bukan ya?) merah darah masih menggantung di dekat ekornya. Menjijikkan? Iya. Tapi itu pertama kalinya saya melihat domba baru selesai melahirkan. Hahaha err.
Tidak ada aparat desa yang tahu kedatangan saya. Kepala di desa itu memang agak-agak gimana gitu. Ini saya ketahui setelah kurang dari seminggu kemudian saya menetap di sana. Namun, seolah ingin mengintrepetasikan teori dynamic equilibrium-nya Perubahan Sosial, bagian tubuh lain milik desa harus bekerja lebih keras untuk menutupi luka itu. Bagian tubuh inilah yang saya sebut penduduk desa.
Sebagian besar penduduk laki-laki Desa Sukatani bekerja sebagai petani padi sawah. Petani pemilik lahan, penggarap, buruh, hingga petani pemilik gilingan padi campur baur di sana. Petani-petani tersebut berusia 30-an. Sementara lelaki mudanya banyak bekerja menjadi buruh di kota hingga bekerja sebagai musisi dangdut keliling. Mereka menyebutnya orkes kampung.
Di luar dari harga beras yang tidak bisa diprediksi
dan jeratan tengkulak-tengkulak, hama menjadi musuh besar petani di sana.
Pestisida apapun sudah tidak ampuh mengendalikan hama. Bahkan mereka pernah
tidak panen sama sekali karena serangan hama. Cara yang paling efektif,
efisien, dan banyak digunakan petani adalah dengan solar. Di Kecamatan Compreng
terdapat stasiun pertamina yang berdiri di tengah pesawahan warga. Pernah suatu
hari ada tangki solar yang bocor. Otomatis sawah warga teraliri solar tersebut.
Yang petani lihat adalah setelah tragedi itu hama wereng coklat tidak lagi
menyerang sawah yang tersolari. Alhasil, banyak warga yang membanjiri sawahnya
dengan solar. Hal ini sudah terjadi hampir 1 tahun. Miris? Begitulah. Namun
apapun akan petani lakukan, yang penting hama minggat!
Cara lain yang petani Sukatani lakukan untuk mengusir hama adalah dengan umpan. Bila kalian sempat berkunjung ke sana, kalian akan temukan seekor ikan asin dan cabai yang dironce dengan sebuah tongkat di sudut-sudut sawah. Harapan mereka, ketika tikus sawah memakan ikan dan cabai, tikus akan kepedesan dan tidak kembali lagi ke sawah mereka. Hai, kus, kepedesan nggak?
Tradisi
lainnya yang mendarah daging adalah sisingaan. Pertama kali saya kenal budaya
ini waktu kelas 1 SMP di buku cetak Basa Sunda saya. Bisa melihatnya dengan
mata kepala sendiri suatu kebahagiaan bagi saya. Sisingaan di Desa Sukatani
sering dilakukan untuk menyambut TKW, acara sunatan ataupun hajatan lain, dan
pesta panen. Suka cita petani tergambar oleh dentuman musik dangdut yang
mengekor di belakang arak-arakan singa buatan. Sebenarnya sih tidak hanya
singa, ada burung dan berbagai hewan lain. Masing-masing boneka ada filosofinya
sendiri.
Hari-hari saya di Sukatani juga diiringi tradisi gobrokan. Gobrokan ini semacam ngamen Sunda gitu. Beberapa anak kecil membawa ember kecil sebagai tempat menyimpan uang, juga ember sebagai drum dan kayu sebagai penabuhnya. Uniknya ada sebagian anak yang mengenakan topeng anoman. Lucu plus seram juga sih. Mereka keliling kampung sambil menunggu adzan magrib. Uang yang didapatkan mereka belikan sangu untuk buka puasa. Waah …
Menulis tentang buka puasa, saya punya menu andalan Desa Sukatani yang bisa dijadikan pangan tambahan untuk berbuka. Saya lupa namanya. Makanan itu terbuat dari petai cina dibumbu pedas. Rasanya? Mantap dan uh mulut saya bau petai. Hihihi makanan yang sanggup membuat bocah-bocah Sukatani terkikik menertawai saya. Err.
Terima kasih Sukatani karena sudah mau membuka dengan saya. Semoga panen musim ini sukses ya. Dapat sms dari bocah-bocah, “Kak, ke Sukatani lagi kapan?” Aduuuh, kapan ya? Lagi mau skripsi nih, dek. Kapan-kapan deh ya.
Sore itu, kedatangan saya disambut sangat baik oleh kawanan domba yang sedang pesta rumput. Di sudut dekat pohon beringin, ada satu domba betina yang baru saja melahirkan. Ari-ari (itu ari-ari bukan ya?) merah darah masih menggantung di dekat ekornya. Menjijikkan? Iya. Tapi itu pertama kalinya saya melihat domba baru selesai melahirkan. Hahaha err.
Feeding party
KODAK
EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/500 sec., ISO-80, FL 6 mm, with Curve, Photo Filter,
and Font by Photoshop CS4
|
Tidak ada aparat desa yang tahu kedatangan saya. Kepala di desa itu memang agak-agak gimana gitu. Ini saya ketahui setelah kurang dari seminggu kemudian saya menetap di sana. Namun, seolah ingin mengintrepetasikan teori dynamic equilibrium-nya Perubahan Sosial, bagian tubuh lain milik desa harus bekerja lebih keras untuk menutupi luka itu. Bagian tubuh inilah yang saya sebut penduduk desa.
Sebagian besar penduduk laki-laki Desa Sukatani bekerja sebagai petani padi sawah. Petani pemilik lahan, penggarap, buruh, hingga petani pemilik gilingan padi campur baur di sana. Petani-petani tersebut berusia 30-an. Sementara lelaki mudanya banyak bekerja menjadi buruh di kota hingga bekerja sebagai musisi dangdut keliling. Mereka menyebutnya orkes kampung.
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/50 sec., ISO-80, FL 6 mm, with Font by Photoshop CS4 |
Perempuannya? Hm … kalian tidak akan temukan gadis
desa di Sukatani. Para gadis desa merantau ke negara tetangga seperti Malaysia,
Thailand, dan tetangga jauh Arab Saudi sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Jadi
mari menyebutnya gadis tetangga sebelah.
Sebagai daerah yang hanya 4 jam dari Terminal Kampung
Rambutan, Jakarta bila berkendara dengan bus umum Warga Baru yang disupiri oleh
saudara jauh banget dari Schumakker (salah ya namanya?), saya agak merasa
miris. Subang termasuk lumbung padi nasional yang menghapus air liur lapar
Jakarta, namun kondisi pertaniannya begitu menyedihkan.
Solarisasi sawah
KODAK
EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/200 sec., ISO-100, FL 6 mm, with Font by Photoshop
CS4 |
Cara lain yang petani Sukatani lakukan untuk mengusir hama adalah dengan umpan. Bila kalian sempat berkunjung ke sana, kalian akan temukan seekor ikan asin dan cabai yang dironce dengan sebuah tongkat di sudut-sudut sawah. Harapan mereka, ketika tikus sawah memakan ikan dan cabai, tikus akan kepedesan dan tidak kembali lagi ke sawah mereka. Hai, kus, kepedesan nggak?
Umpan
KODAK
EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/320 sec., ISO-80, FL 6 mm, with Font by Photoshop CS4
|
Dekat dari Jakarta dan mengejutkan karena seolah tidak
ada kepala Ibu Kota yang menoleh mengulurkan tangan belas kasihan, Sukatani
juga mengejutkan dengan budaya lamanya yang masih mengudara di sela-sela pohon
mangga yang tumbuh di setiap rumah penduduk.
Jangan kaget dan mendesis jelek kalau kamu bertamu ke
rumah-rumah atau sawah sekalipun. Sesajen bagaikan rumput yang sengaja mereka
pelihara, meski juga mereka injak. Di sawah, di kolong tempat tidur, di atas
kendi-kendi yang berbaris dalam kamar mandi, sesajen ada di setiap tempat yang
saya lewati. Saya pernah ke sawah dan menemukan benda penghantar syirik itu.
Seorang petani memperingati saya, “Jangan dikolongin neng, nanti saya nggak
panen.” Saya memutar arah dan mencari jalan pulang yang lain.
Persembahan Sia-sia |
Saya bertamu ke beberapa rumah
warga. Kebetulan rumah-rumah itu ada bayi kecil yang baru lahir. Di atas ayunan
kain bayi tergantung beberapa bumbu dapur, uang kertas, dan berbagai kain aneka
warga. Saya tanya, “Buat apa, Bu?” Mereka menjawab tanpa menjelaskan, “Sudah
tradisi.”
Sisingaan |
“Satu singa harganya bisa
sampai setengah juta neng. Makanya yang biasanya naik itu anak-anak orang yang
punya. Kita mah nonton aja udah senang. Apalagi musiknya. Dangdut pisan. Bahkan
yang joget-joget di belakang itu, itu neng itu, pernah sampai mabok-mabokkan.
Sampai berantem juga sering. Kalau udah gitu yang emak takutin. Tapi selain
itu, asyik neng. Ikut goyang neng?”
Saya langsung menggeleng
sambil tertawa diajak goyang oleh seorang nenek yang menemai saya menonton di
bawah rindang pohon kersen. Beliau berbicara dengan bahasa Sunda yang
sedikit-sedikit saya pahami. Sedikit aja. Sisanya kira-kira. Hehehe.
“Mak, itu yang angkat singanya
nggak keberatan? Pada ikut joget pula.”
“Ya enggak atuh neng, kan udah
dimandiin dan didoain.”
Aduuh. Nggak ikut-ikutan deh
saya.
“Mereka
kan udah dilatih. Ntar kalau capek bisa gantian atau arakannya berhenti
sebentar. Tuh neng, pada berhenti.” Laki |
Orkes Kampung |
Hari-hari saya di Sukatani juga diiringi tradisi gobrokan. Gobrokan ini semacam ngamen Sunda gitu. Beberapa anak kecil membawa ember kecil sebagai tempat menyimpan uang, juga ember sebagai drum dan kayu sebagai penabuhnya. Uniknya ada sebagian anak yang mengenakan topeng anoman. Lucu plus seram juga sih. Mereka keliling kampung sambil menunggu adzan magrib. Uang yang didapatkan mereka belikan sangu untuk buka puasa. Waah …
Seniman Cilik |
Menulis tentang buka puasa, saya punya menu andalan Desa Sukatani yang bisa dijadikan pangan tambahan untuk berbuka. Saya lupa namanya. Makanan itu terbuat dari petai cina dibumbu pedas. Rasanya? Mantap dan uh mulut saya bau petai. Hihihi makanan yang sanggup membuat bocah-bocah Sukatani terkikik menertawai saya. Err.
Terima kasih Sukatani karena sudah mau membuka dengan saya. Semoga panen musim ini sukses ya. Dapat sms dari bocah-bocah, “Kak, ke Sukatani lagi kapan?” Aduuuh, kapan ya? Lagi mau skripsi nih, dek. Kapan-kapan deh ya.