Toko buku selalu menjadi tempat pelarian yang menyenangkan. Apalagi kalau ada buku bagus yang plastiknya sudah terbuka. Saya bisa duduk semau saya di lantai selama berjam-jam untuk membaca buku itu secara gratis. Tidak peduli orang-orang yang lewat menendang tas saya. Kesempatan seperti ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin hehe. Lumayan, tidak perlu merogoh kocek untuk membaca buku bagus ß contoh pembaca yang tidak baik ini -_-.
Dan lebih menyenangkan lagi karena saya mendapatkan sebuah paragraf yang pas banget dengan kondisi saya saat ini. Ini foto paragrafnya. Saya lupa judul dan pengarang bukunya. Ampun ampun.
Berani bergerak yeah! |
Sebenarnya tulisan ini mau kemana sih? Hehehe. Niatnya sih mau membahas surat An Naas. Al Qur'an surat An-Naas mungkin suatu surat yang tidak dianggap istimewa oleh sebagian Muslim. Bukannya membanding-bandingkan satu surat dengan surat lain, ini jelas salah. Maksud saya begini. Siapa sih yang tidak hafal surat An-Naas? Anak umur 3 tahun mungkin sudah banyak yang hafal. Karena begitu banyak orang yang hafal, maka mungkin banyak juga yang menganggap remeh surat 6 ayat tersebut. Orang-orang akan menganggap ‘wah' orang yang hafal surat Al Mulk, Al Waqiah, Ar Rahman, dan surat panjang lainnya. Memang bukan hal yang salah. Tentu saja bukan. Bagus malah kalau memang hafal. Saya saja tidak hafal. Tapi hanya sekedar hafal dan tidak paham benar ayat-ayat Allah, itu yang menurut saya kurang pas saja. Hafalan kita sudah tinggi, tapi dengan surat-surat pendek, kok seperti menyepelekan, atau tahu artinya tapi tidak benar-benar paham maksudnya, sehingga hafalan hanya sekedar hafalan, hafalan hanya sekedar di bibir saja, tidak sampai ke hati, tidak sampai melekat ke setiap perbuatan.
Bukankah Allah sudah memperingatkan kepada manusia dalam Al Qiyamah ayat 16. "Janganlah engkau gerakkan lidahmu (untuk membaca Al Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya." Sifat cepat-cepat atau tergesa-gesa itu datangnya dari setan. Mungkin kita cepat hafal. Setelah hafal satu surat langsung loncat ke surat lain. Padahal sebelum meloncat, ada baiknya kita tanamkan dalam hafalan kita: memahami dan mengaplikasikan maknanya dalam kehidupan sehari-hari. Nah, sambil kita melakukan dua hal tersebut, kita mulai menambah hafalan kita. Ini baru jempol. Saya nggak keren-keren banget sih dalam hal ini. Yuk atuh sekalian belajar. Karena akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang menimpa saya dan perlu banget keteguhan kuat atas makna surat An Naas agar tidak terperosok ke dalam jurang setan. Izinkan saya berbagi sesuai pengetahuan dan pemahaman saya ya. Kalau ada yang salah atau kurang, mohon koreksinya ^^
Bismillahirrahmaanirrahiim.
"Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia."" (TQS An Naas: 1-6)
Saya pernah bertanya begini, "Kenapa ya untuk keluar rumah saja kita nggak pernah pikir macam-macam? Kita jarang, bahkan hampir tidak pernah berpikir, apakah nanti kalau keluar rumah aku akan ketabrak tronton? Bagaimana kalau keluar rumah tiba-tiba ada helikopter jatuh dan membunuhku? Bagaimana kalau nanti aku kejambret?" Oke saya akui, saya tidak pernah berpikir begitu. Yang saya pikirkan hanyalah, "Sekarang aku harus pergi mengajar, buku-buku sudah dimasukkan, hari ini akan belajar ini, jangan lupa periksa PR anak-anak." Itu saja. Makanya saya tetap keluar rumah, berangkat mengajar, membaca do'a keselamatan, tidak perduli apakah nanti ada helikopter jatuh menimpa saya. Kalau keluar rumah, keyakinan kita untuk dilindungi, selamat di perjalanan, dan sampai tujuan sehingga bisa melakukan rencana-rencana, itu tinggi sekali. Tapi kita pasti pernah terlalu memikirkan hal-hal yang lebih besar maknanya dari sekedar keluar rumah. Misalnya, membuka tabungan haji, melanjutkan pendidikan, mendaki gunung, melakukan hal baru, membuat kerjasama dengan orang yang sama sekali tidak dikenal dan berbagai hal krusial lainnya. Otak kita mungkin bekerja lebih berat memikirkan hal-hal tersebut. Misalnya begini: apakah aku yakin aku pantas melakukannya? Apakah aku akan tersasar dan dimakan harimau kalau mendaki gunung? Kalau aku membuka tabungan haji, apakah aku masih bisa mengirim sebagian gajiku ke orangtua? Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan? Bagaimana kalau ternyata orang yang kuajak kerjasama pada akhirnya mengkhianatiku? Bagaimana kalau ternyata dia mempermainkanku, hanya mengambil keuntungan dariku? Bagaimana kalau nanti aku tidak bisa mempertanggungjawabkan gelarku kepada masyarakat? Dan bagaimana-bagaimana yang lain.
Merasa tidak kalau ‘bagaimana-bagaimana' itu menandakan keyakinan kita terhadap pertolongan Allah itu merosot drastis? Nau'dzubillahi min dzalik! Aaaakk. Pada akhirnya kita menjadi ragu-ragu. Kita hanya terpenjara pada ‘bagaimana' yang kita buat. Kita takut akan masa depan. Kita takut tidak sesuai yang direncanakan. Kita hanya melihat dunia dari sisi kita saja. Masa depan menjadi begitu menyeramkan untuk kita hampiri. Dan kita tidak bergerak kemana-mana.
Padahal antara keluar rumah untuk bekerja seperti biasanya dengan melakukan hal yang baru itu sama. Kedua kegiatan itu letaknya di masa depan. Mereka ghaib. Ketika keluar rumah, kita sama sekali tidak memiliki pengetahuan apakah akan kejatuhan helikopter dari langit. Tapi kita tetap berani keluar rumah. Bedanya, kalau keluar rumah ya sejam lagi, kalau melakukan hal baru mungkin masih beberapa bulan lagi. Bedanya hanya masalah waktu.
Bukan deng. Bukan hanya waktu. Tapi juga resiko dan pengaruhnya terhadap lingkungan dan masa depan yang lebih besar lagi. Iya sih. Lantas kenapa? Kalau hal baru itu memang benar, sepayah apapun jalan yang harus ditempuh, setidak pantas apapun kita menempuh jalan itu, kenapa harus takut? Bukankah pertolongan Allah sangat besar, apalagi untuk hal-hal yang baik dan benar?
Kalau dianalisis berdasarkan surat An Naas, ketakutan-ketakutan kita itu, atau ‘bagaimana-bagaimana'nya kita itu berasal Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. Ah tahu aja nih setan kalau kita sedang was-was terhadap sesuatu, karena pada dasarnya setan itu musuh nyata bagi manusia, menggodalah setan dengan bisik-bisikannya, dengan menciptakan kekhawatiran dan ketakutan yang pada akhirnya membuat kita lupa bahkan tidak percaya dengan adanya pertolongan Allah. Kita jadi terlalu memikirkan banyak hal, sampai tidak sempat menempatkan Allah dalam setiap rencana kita. Aaakk setan, enyah kau! Hush hush! Ingat lho. Bisik-bisik yang ada di dalam dada manusia ini, menurut surat An Naas, tidak hanya berasal dari jin, tetapi juga manusia. Tidak sedikit manusia yang akan mempengaruhi kita memutuskan sesuatu dengan segudang kalimatnya. Kalimat yang bisa meneguhkan hati, dan tentu juga kalimat yang meruntuhkan niat baik kita. Ini bahaya. Kalau kita sudah punya niat baik, dan terus saja mendengar celotehan buruk tentang niat kita itu, bisa-bisa niat baik kita tidak terlaksana juga. Tidak perlu dikasih contoh lah ya. Pasti kalian sudah punya pengalaman yang lebih hebat dari saya.
Waw. Ini baru bisik-bisik saja, kita sudah dibuat puyeng -_-
Untuk menghindari bisik-bisik manusia yang mengaburkan niat baik kita, maka mulailah memilih teman yang baik. Kenapa? Karena, setangguh apapun kita dalam berprinsip memiliki niat, kita tetap butuh pegangan dari orang-orang yang akan membantu kita berdiri kalau kita jatuh, kita tetap butuh teman sebagai pengingat niat. Karakter utama yang harus dipunyai teman ini adalah pemahaman agama yang baik. Mereka yang pemahaman agamanya lebih tinggi dari kita, pasti punya alasan akhirat jika memberi usul atau nasihat terhadap rencana kita. Teman disini tidak mesti teman nongkrong di warung. Orangtua juga bisa jadi teman baik, apalagi mereka telah memakan asam garam kehidupan, jadi tahu lah bagaimana harus bersikap. Selain orangtua, siapa lagi? Banyak, masa harus saya sebutkan satu-satu? ^^
Kok kesannya kayak keras kepala ya? Teguh banget sama niat itu? Ya harus gitu, menurut saya. Kita harus keras kepala kepada niat kita, apalagi niat yang baik. Kalau niat saja sudah rapuh, bagaimana kita bisa meneruskan niat itu?
Tapi tetap ya. Keras terhadap niat, harus disertai keras terhadap usaha dengan cara yang baik dan do'a kepada Allah. Bagaimana pun Allah yang Maha Tahu hal-hal yang ghaib tentang masa depan. Pada ayat pertama hingga ketiga surat An Naas kita diperingatkan untuk berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Jangan kita terlalu yakin lalu menjadi sombong. Kita pun juga tidak tahu apakah niat itu akan berakhir baik atau buruk. Jika memang hasilnya baik, Allah pasti akan memudahkan jalannya. Jika buruk, Allah pasti akan menunjukkan jalan menuju yang benar lalu menggantinya dengan yang lebih baik. Toh Allah yang Memelihara dan Menguasai manusia. Allah pula yang menciptakan setan. Kita merasa susah dengan ciptaan Allah yang menyebalkan itu? Minta pertolonganlah kepada yang menciptakan ^^ Saya percaya, semua tergantung niat, dan Allah pasti akan memperlihatkan sebab dari niat itu. Jika kita sudah punya niat, berhati-hatilah dalam mendengar bisik-bisik tetangga, siapa tahu ada setan yang ‘nyelip', membuat sesak dada, membuat kita terlalu berpikir keras, padahal kapasitas otak kita dalam berencana tidak sebanding dengan keputusan Alah, membuat kita terbuai dengan angan-angan, membuat kita lelah dengan ketakutan yang kita buat sendiri, membuat kita lupa menempatkan Allah dalam setiap rencana kita. Astaghfirullah ala'dzim.
Allahumma inni a'udzubika minal hammi wal haza wa a;udzubika minal zubni wal buhl. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sesak dada dan gelisah, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.
Pernah juga kah berpikir seperti ini? Kita punya niat baik. Teman-teman juga mendukung. Keluarga apalagi. Kita awalnya yakin banget bisa melakukan hal itu. Tapi kok tiba-tiba kita merasa tidak pantas melakukannya? Contohnya, kita pengen banget berhijab. Niat baik banget kan itu? Teman-teman juga mendukung, mereka sepakat akan membabat habis orang-orang yang akan mengejek kalau kita berhijab. Tapi terbesit dalam hati, kita sholat saja masih suka dilambat-lambatkan, tahajud jarang, pengetahuan agama hanya sebatas mata kaki, kok berani-beraninya mau berhijab, kayaknya nggak pantas deh, apalagi melihat teman-teman yang telah berhijab adalah mereka yang ikut liqo, sedangkan kita, kata ‘liqo' aja baru dengar.
Ukuran pantas dan tidak pantas itu sebenarnya hanya ada dalam pikiran manusia. Pernah dengar cerita wanita pezina yang akhirnya masuk syurga? Kalau kita sebagai manusia pasti sudah menge-judge kalau wanita itu tidak pantas masuk syurga. Tapi Allah berkata lain. Hanya karena wanita itu memberi air kepada anjing yang kehausan, Allah memantaskan syurga baginya. Ukuran pantas dan tidak pantas itu sejatinya hanya Allah yang punya, karena ampunan Allah itu luas. Kita merasa banyak dosa sehingga merasa tidak pantas melakukan hal baik? Itu artinya kita tidak percaya ampunan Allah. Astaghfirullahal'adzim.
"Wahai anak Adam, sesungguhnya tiada engkau memohon kepada-Ku mengharap kepada-Ku melainkan pasti Aku akan mengampunimu, dan Aku tiada peduli (seberapapun permintaanmu). Wahai anak Adam, sekiranya dosa-dosamu mencapai ujung langit kemudia engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunimu, dan Aku tidak peduli (seberapa pun dosamu). Wahai anak Adam, sekiranya engkau datang kepada-Ku membawa dosa-dosa hampir sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku (dengan) tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu apa pun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan hampir sepenuh bumi." (HR At Tirmidzi)
Noh. Allah udah jawab noh. Mau kita punya dosa hampir sepenuh bumi, kalau kita punya niat memperbaiki diri, dan dibarengi dengan usaha yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, Allah pasti akan memberi ampunan hampir sepenuh bumi. Mau kita punya permintaan semilyar bintang di semesta, Allah bakal kasih. Insya Allah.
Wallahu a'lam bisshowab. Yuk bergerak ^^